Jumat, 30 Oktober 2009

PELUANG DAN TANTANGAN EKONOMI ISLAM

1. Pendahuluan
Ketika menjelaskan kebuntuan ilmu ekonomi, Fritjop Capra dalam bukunya The Turning Point,Sciense, Society, and The Rising Culture, menyatakan ;…”ilmu ekonomi merupakan ilmu yang paling bergantung pada nilai dan paling normatif di antara ilmu-ilmu lainnya. Model dan teorinya akan selalu didasarkan atas nilai tertentu dan pada pandangan tentang hakekat manusia tertentu; pada seperangkat asumsi yang oleh E.F.Schumacher disebut “meta ekonomi” karena hampir tidak pernah dimasukkan secara eksplisit di dalam pemikiran ekonomi kontemporer. Ervin Laszlo dalam bukunya, 3rd Millenium, The Challenge and The Vision, mengungkapkan kekeliruan sejumlah premis ilmu ekonomi, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan sama sekali nilai-nilai dan moralitas. Menurut mereka kelemahan dan kekeliruan itulah yang antara lain menyebabkan ilmu ekonomi tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat miskin dengan negara-negara dan masyarakat kaya. Lebih lanjut, mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan tidak ada jalan lain kecuali dengan merobah paradigma dan visi, yaitu melakukan satu titik balik peradaban.”
Pemikiran kritis semacam itu sebenarnya sudah berkemvbang dikalangan tokoh dan ilmuan muslim. Bermula dari keinginan yang kuat untuk memperbaiki kondisi ekonomi ummat, sejumlah pemuka dan ilmuan muslim mencoba menemukan sistem alternatif yang betul-betul sesuai dengan perinsif syari`ah. Sistem alternatif itu dibangun dsalam suatu kerangka ilmiah dan selanjutnya direalisasikan di dalam kehidupan praktis. Sistem alternatif itulah yang selanjunya disebut ekonomi Islam. Sistem operasional lembaga-lembaga yang dibangun oleh sistem ini, seperti lembaga-lembaga keuangan syari`ah, ternyata hidup dan bersaing dengan lembaga-lembaga konvensional, bahkan terbukti lebih tahan terhadap ancaman krisis ekonomi.
Pada mulanya kehadiran ekonomi Islam, termasuk lembaga-lembaga yang dilahirkannya, pleh sebagian masyarakat disambut dengan sikap a priori dan pessimis, bahkan dalam beberapa hal ditanggapi dengan sikap sinis.Kelihatannya, sikap a priori, pessimis, dan sinis itu muncul dari kurangnya pengetahuan dan kakunya kerangka fikir yang dipergunakan dalam memahami ekonomi Islam. Karena perkembangan ekonomi Islam begitu pesat dan bersifat unik, dan karena lembaga-lembaganya juga competitiv dengan lembaga konvensional sejenis, para ilmuan dan pemerhati masalah-masalah kemanusiaan, baik muslim maupun non muslim, tertarik untuk melakukan kajian-kajian serius terhadapnya. Di antara non-Muslim yang melakukan penelitian dan kajian terhadap ekonomi Islam adalah Florence Eid, salah seorang konsultan di bank Dunia, Washington,DC, Toshikazy Hayashi, dari International University of Japan, Rodeney Wilson, J.R.Presley. Pada umumnya mereka melihat bahwa ekonomi Islam solusi bagi persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi dunia saat ini (dan pada masa yang akan datang).

2. Ekonomi Islam
Ekonomi sebagai suatu usaha mempergunakan sumber-sumber daya secara rasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesungguhnya melekat pada watak manusia. Tanpa disadari, kehidupan manusia sehari-sehari didominasi kegiatan ekonomi. Dalam bahasa Arab, ekonomi sering diterjemahkan dengan al-Iqtisad, yang berarti hemat, dengan perhitungan, juga mengandung makna rasional dan nilai secara implisit.
Konsep ekonomi dalam pengertian demikian telah ada sejak manusia memikirkan kebutuhannya, dan akan senantiasa ada dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, kajian modern tentang konsep dan prinsip-prinsip ekonomi menurut tradisi keilmuan Barat sejak Adam Smith menerbitkan bukunya The Wealth of Nations pada tahun 1770-an.
Ilmu ekonomi modern telah berusia dua abad itu telah tumbuh dan berkembang begitu jauh dan telah membuktikan dirinya sebagai ilmu yang paling banyak dipergunakan dalam mengatur kehidupan kolektif manusia emenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Namun demikian, ia tetap meminjam berbagai instrumen keilmuan dari berbagai bidang dalam melakukan penelitian dan pengukuran-pengukuran untuk seterusnya menyesuaikan dengan kebutuhannya.
Ilmu ekonomi modern dibangun di atas filsafat sekularisme dan faham liberalisme. Dengan demikian, pelaku-pelaku ekonomi dipandang mempunyai kebebasan untuk bertindak sesuai dengan kodrat manusia. Hukum-hukum, hubungan-hubungan dan aspirasi-aspirasi sosio-ekonomi dianggap berasal dari kebebasan aktivitas manusia. Pendekatan- dalam ilmu ekonomi bersifat keilmuan.
Ekonomi Islam pada hakikatnya adalah upaya pengalokasoian sumber-sumber daya untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan petunjuk Allah SWT untuk memperoleh ridha-Nya. Petunjuk Allah SWT tentang hal itu sudah ada sejak wahyu diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, sebagai kajian yang berdiri sendiri dengan menggunakan ilmu-ilmu modern, terlepas dari ilmu fikih, baru dimulai sekitar tahun 1970-an . Menurut ahli ekonomi Islam, ada tiga karakteristik yang melekat pada ekonomi Islam, yaitu :pertama, inspirasi dan petunjuknya dicari di dalam al-Qur’an dan sunnah, kedua , perspektif dan pandangan-pandangan ekonominya mempertimbangkan peradaban Islam sebagai sumber. ketiga, bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai-nilai ,prioritas dan etika ekonomi komunitas muslim pada periode awal.
Dari informasi singkat ini dengan mudah dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam mempunyai perbedaan yang mendasar dengan ekonomi konvensional (sebutan yang lazim digunakan untuk ekonomi sekuler).Perbedaan yang paling mendasar adalah pada landasan filosofinya dan asumsi-asumsinya tentang manusia. Ekonomi Islam dibangun atas empat landasan filsofis yaitu: tawhid, keadilan,(keseimbangan), kebebasan dan pertanggung jawaban.
Tawhid dalam hal ini berarti bahwa semua yang ada merupakan ciptaan dan milik Allah, dan hanya dia yang mengatur segala sesuatuya, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, perolehan rezeki dan sebagainya (rububiyyah). Manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sebagai trustee (pemegang amanah). Oleh sebab itu, manusia harus mengikuti segala ketentuan Allah dalam segala aktivitasnya, termasuk aktivitas ekonomi. Ketentuan Allah yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi juga bersifat etis dan moral (uluhiyyah). Berdasarkan ini maka asumsi terhadap manusia bersifat positif dan kegiatan ekonomi tidaklah ditujukan untuk memenuhi kepuasan manusia yang tidak terbatas.
Keadilan dan keseimbangan ditegaskan dalam banyak ayat suci al-Qur’an sbagai dasar kesejahteraan hidup manusia. Oleh sebab itu, seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan. Sistem ekonomi haruslah secara intrinsik membawa keadilan dan keseimbangan. Dalam ekonomi Islam, misalnya pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua dari satu entitas. Pada tingkat teknis, hal ini tampak pada peraktek mudarabah (lost and profit sharing) di mana pemilik modal dan pekerja ditempatkan pada posisi yang sejajar secara adil.
Kebebasan mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Tuhan yang melarangnya. Ini menunjukkan bahwa inovasi dan kreatifitas dalam ekonomi adalah suatu keharusan.
Pertanggungjawaban memiliki arti bahwa manusia sebegai pemegang amanah memikul tanggungjawab atas segala putusan-putusannya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan memilih berbagai alternatif yang ada dihadapannya. Pada gilirannya ia harus bertanggungjawab kepada Allah swt.
Keempat landasan filosofis ini selanjutnya membawa perbedaan-perbedaan lainnya pada asumsi dan hal-hal yang bersifat teknis. Dari landasan filosofis tawhid misalnya asumsi tentang manusia akan berbeda dengan asumsi ekonomi konvensional. Manusia dipandang sebagai makhluk yang pada kodratnya mempunyai kasih sayang; manusia akan merasa senang memberi bantuan terhadap orang lain (altruisme). Karena itu kebijakan ekonomi dan teknis operasional lembaga ekonomi seharusnya merangsang orang untuk menumbuhkan fitrah kebaikannya itu; bukan membiarkannya memadamkan fitrah itu. Konsep fitrah akan melahirkan sikap contributive (ta`awun dan takaful) menggantikan sikap exploitative.
Tampak bahwa hal yang paling menjadi perhatian para ahli ekonomi Islam adalah pada dimensi filosofis dan nilai. Bertolak pada dimensi filosofis dan nilai Islam mereka mencoba untuk merumuskan dimensi-dimensi teori dan teknis. Konsep kebutuhan dasar dan arah pembangunan misalnya mereka rumuskan berdasarkan maqasid al-syari`ah (tujuan-tujuan syari`ah Islam) yang ditulis oleh al-Syathibi dan juga al-Ghazali dengan tetap meminjam instrumen pengukuran dan pengujian ilmu eknomi konvensional. Demikian juga halnya dengan sistem moneter.
Karakteristik masyarakat atau lingkungan yang ingin dibangun ekonomi Islam dapat digambarakan sebagai berikut:
a. Individu-individu harus mempergunakan kekuatan dan keterampilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai tugas pengabdian kepada Allah swt. Kewirausahaan, kerja keras, siap mengambil resiko, swasembada, dan manajemen yang tepat merupakan watak yang melekat dalam kehidupan. Sikap ketergantungan kepada orang lain tidak dibenarkan kecuali bagi orang-orang yang sudah kehilangan kemampuan, seperti al-kafalah.
b. Pemerintah bertindak hanya sebagai pelindung dan fasilitator bagi kegiatan-kegiatan usaha masyarakat.
c. Tujuan umum dari kegiatan ekonomi adalah memenuhi kebutuhan material dan spritual (ridha Allah) secara bersamaan.
Secara umum dari ekonomi Islam tetap berhutang budi kepada ilmu ekonomi konvensional, karena instrumen analisis dan metode-metode keilmuannya tetap dipinjam dan disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan ekonomi Islam.
Ekonomi Islam tampaknya merupakan upaya keilmuan yang terlepas dari konteks historis ilmu ekonomi, tetapi melengkapinya dengan landasan-landasan ontologi dan aksiologi, yang sudah barang tentu dalam banyak hal membawa perbedaan dari ilmu ekonomi konvensional. Langkah mengubah landasan ontologi dan aksiologi ilmu ekonomi ini salah satunya adalah untuk “menghindari” kesalahan yang pernah dilakukan sebahagian modernis muslim, terutama dalam bidang ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi pandangan-pandangan Barat dan “mengislamkannya” tanpa bertolak dari pandangan dasar Islam sama sekali.
Ekonomi Islam tampaknya masih dalam proses membentuk diri secara lebih mandiri sebagai disiplin ilmu. Meskipun demikian, ia telah berhasil melahirkan sistem operasi lembaga ekonomi modern, seperti bank dan asuransi. Dalam peraktek, sistem operasi bank dan asuransi Islam dapat bersaing dengan lembaga serupa. Pada tingkat praksis, dampak langsung dari gagasan ekonomi Islam kepada masyarakat, terutama, masyarakat muslim, telah dirasakan turut memecahkan sebahagian persolan keterbelakangan umat. Dalam konferensi internasional tentang perbankan dan keuangan Islam yang berlangsung pada 17-18 juli 1998 di Houston, Texas, Khursid Ahmad menyatakan bahwa lembaga keuangan Islam bukan hanya teori, melainkan sebuah realitas yang tumbuh dan berkembang sangat cepat.
Satu hal yang menarik dari proses pembentukan ekonomi Islam, cara yang ditempuh adalah pendekatan ilmiah, melalui penelitian-penelitian baik penelitian pada sumber-sumber ajaran Islam, tradisi nabi dan para sahabat, khazanah pemikiran ekonomi para ilmuan terdahulu, maupun penelitian empirik terhadap kondisi dan perilaku ekonomi masyarakat Islam. Penelitian-penelitian itu dilakukan secara terbuka, dipertanggungjawabkan secara Ilmiah di forum-forum asosiasi ekonomi Islam yang dihadiri tidak saja oleh ilmuan muslim, tetapi ilmuan ekonomi lain sesuai dengan bidang minat keilmuannya. Puncak acara keilmuan dalam kurun waktu empat tahun sekali dilakukan konfrensi internasional memperbincangkan hasil-hasil penelitian dan pengujian teori-teori yang telah ditemukan. Sebagai suatu proses pengujian ilmiah sama sekali tidak ada kesan ekslusifisme di dalamnya.
Pada umumnya, ahli ekonomi Islam yang ada sekarang berasal dari sarjana ekonomi konvensional tetapi mempunyai dasar keilmuana yang memadai tentang syari`ah dan sarjana syari`ah yang membekali dirinya dengan bidang-bidang tertentu dari ilmu ekonomi.

3.Millenium ketiga, Peluang dan Tantangan
Menjelang abad 21 banyak persoalan kemanusian yang sangat menyedihkan baik pada tingkat global maupun pada tingkat nasional. Cetusan ketidakpuasan dalam bidang ekonomi, politik dan budaya terdengar semakin nyaring dari berbagai komunitas umat manusia; ketidakberdayaan sebahagian masyarakat berhadapan dengan kekuatan-kekuatan, ekonomi, politik dan budaya global tampak melalui publikasi sebahagian besar media massa. Para ilmuan dan pemerhati masalah kemanusiaan mengungkapkan kecemasan mereka melihat kemungkinan malapetaka besar yang menimpa umat manusia pada millinium ketiga. Malapetaka itu berupa proses kepunahan akibat semakin menipisnya sumber-sumber kehidupan air, tanah, dan udara yang layak, atau akibat adanya konflik kehidupan yang berkepanjangan tanpa penyelesaian yang substansial. Semua malapetaka itu berpangkal dari adanya kekeliruan pada paradigma, mitos, asumsi, dan metode berfikir tentang alam semesta, kehidupan dan ilmu pengetahuan. Kekeliruan itu menimbulkan sikap, kebijakan, langkah-langkah, dan tindakan-tindakan salah.
Kekeliruan itu antara lain adalah pandangan hidup mekanistik yang melihat dunia sebagai mesin, materialistik, fregmentaris, dan mengkesampingkan nilai-nilai spritual dan agama. Ilmu pengetahuan dibebaskan dari nilai-nilai dan moralitas. Pembinaan manusia diarahkan pada rasionalitas dan pemenuhan kebutuhan materialistiknya. Nilai-nilai ketuhanan dan moralitas dipandang sebagai subjektifitas yang dapat menghambat objektifitas dan keilmuan dan dinamika.
Dalam bidang ekonomi, disebutkan sejumlah kekeliruan itu, antara lain adalah rasionalitas yang didasarkan pada materi, kepercayaan yang berlebihan pada mekanisme pasar untuk mengatur dirinya sendiri, dan kekakuan pada perinsip efisiensi tanpa memperhatikan kebutuhan orang-orang miskin. Ini semua menyebabkan timbulnya ketidakadilan ekonomi, yang membuat gap yang semakin besar antara orang atau masyarakat miskin dan orang atau masyarakat yang kaya. Ketidakadilan yang melekat secara intrinsik dalam ilmu dan sistem ekonomi, tampaknya tidak akan dapat diatasi dengan upaya-upaya kedermawaan, apalagi mengharapkan efek otomatis dari pertumbuhan ekonomi secara makro. Menarik untuk disimak sejumlah daftar kebutuhan sistem yang diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang doihadapi umat manusia dewasa ini, yaitu antara lain:
a. Membangun kembali aspek spritual dan moral ekonomi dan memasukkannya secara intrinsik dalam ilmu ekonomi.
b. Menciptakan tata dunia baru yang adil dan tidak bersifat hegemonistik.
c. Menempatkan SDM sebagai salah satu modal dalam kegiatan ekonomi, dan peranan uang diluruskan hanya sebagai bersifat instrumental, bukan sebagai komuditas.
d. Membuat sistem distribusi kekayaan dan pendapatan yang adil pada semua tingkatan.
e. Menghidupkan ekonomi pasar dengan tanggung jawab sosial, komitmen moral dan peran positif negara untuk menjamin berlangsungnya aturan permainan.
Berdasarkan uraian tentang perlunya alternatif sistem ekonomi yang kondusif bagi kebutuhan real bagi kelangsungan hidup manusia pada masa akan datang, ekonomi Islam memiliki peluang yang besar untuk menjadi alternatif itu. Peluang ini diperkuat oleh hasil –hasil kajian positif tentang ekonomi Islam pada tingkat teoritis keilmuan yang dilakukan oleh berbagai pihak, terutama oleh keberhasilan lembaga-lembaga keuangan Islam untuk bersaing dengan lembaga-lembaga konvensional sejenis yang mampu bertahan dalam menghadapi gejolak krisis ekonomi.
Di samping itu ada tantangan yang perlu mendapat perhatian. Pertama, adalah tantangan yang bersifat “eksternal”, yaitu anggapan yang lahir dari sikap phobi terhadap Islamic term, sebagai akibat kesalahfahaman atau pengalaman historis yang keliru. Karena menyandang atribut Islam, maka ekonomi Islam dianggap bersaifat ekslusif, hanya untuk kepentingan umat Islam.Dengan begitu mengembangkan ekonomi Islam dianggap bersikap diskriminatif, tidak bersikap pluralistik, atau yang lebih parah dianggap kurang nasionalismenya.Kedua, Tantangan yang bersifat “internal” yaitu berupa kurangnya kepercayaan terhadap kemampuan ilmu dan sistem ekonomi Islam, antara lain karena kekakuan melihat perkembangan ilmu pengetahuan (tidak mampu menangkap perobahan paradigma), kejumudan (tidak mempunyai keberanian moral untuk menghargai milik sendiri), dan kemunafikan (di satu pihak ingin tetap sebagai muslim tetapi di pihak lain tidak ingin mengikuti sistemnya).
Tantangan pertama tidak hanya terdapat dikalangan non-Muslim, tetapi juga bisa muncul dari kalangan muslim. Tantangan ini bermula dari ketidaktahuan bahwa ajaran-ajaran mu`amalat, berbeda dengan ajaran-ajaran ibadat murni, Islam berlaku dan berguna untuk seluruh umat manusia (inklusif). Tantangan kedua dapat disebabkan oleh ketidaktahuan sebagaimana juga dapat disebabkan lemahnya semangat keberagamaan (mental dan keimanan).
Boleh jadi mengatasi tantangan yang disebabkan ketidaktahuan jauh lebih mudah daripada menghadapi tantangan yang disebabkan oleh lemahnya semangat keberagamaan. Untuk mengatasi kedua macam tantangan ini lembaga-lembaga pendidikan dan keilmuan sangat diharapkan melakukan kajian-kajian dan penelitian serta publikasi, disamping melakukan sosialisasi yang berkesinambungan.Perlu dikembangkan kesadaran bahwa pengembangan kajian dan penerapan ekonomi Islam adalah untuk kepentingan ekonomi (kesejahteraan dan keadilan ekonomi) semua umat manusia, sebab ilmu dan sistem itu bersifa solid pada dirinya, tidak mengandung distorsi, dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang sesungguhnya.


4.Penutup
Ekonomi Islam adalah ilmu dan sistem yang bersumber dari imperatif wahyu Allah Swt untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Paradigma, asumsi, dan teori-teorinya sangat kondusif bagi kebutuhan kelangsungan hidup manusia pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, secara potensial ia memiliki peluang yang besar untuk menjadi alternatif. Namun demikian, ada tantangan yang bersifat eksternal dan internal. Lembaga –lembaga pendidikan, kajian, ekonomi dan sosial Islam, khususnya, memikul tanggung jawab untuk mengatasi tantangan yang ada itu, dengan melakukan kajian-kajian, penelitian, publikasi dan sosialisasi yang berkelanjutan.
Akhirnya, mari kita renungkan peringatan Allah SWT pada surat Ibrahim ayat 7 yang artinya lebih kurang:…jika kamu mensyukuri ni`mat-Ku pasti akan kutambah untukmu, dan jika kamu mengingkarinya, kamu akan menerima siksaan-Ku yang sangat pedih”. Keimanan dan ajaran yang dibawa pleh Rasulullah adalah ni`mat paling besar yang telah kita terima. Mensyukuri ni`mat adalah menghargai, memelihara dan mempergunakannya sebaik mungkin. Siksa kehidupan yang paling pedih adalah keterbelakangan, ketidakberdayaan, dan kemiskinan, sehingga dalam segala aspek kehidupan tergantung kepada orang lain;tidak dapat menentukan bagi diri sendiri.
Semoga Allah Swt membimbing kita menjadi hamba-Nya yang bersyukur.
(Penulis adalah Guru Besar Fakultas Syari`ah IAIN.SU.Medan, Menyelesaikan S2 dan S3 di IAIN. Syarif Hidayatullah Jakarta)



PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA INSANI BANK SYARI`AH
H.A.Riawan Amin
Telah menjadi kesepakatan bahwa sumber daya insani-selanjutnya disingkat SDI- merupakan salah satu dari sumber daya utama lainnya, seperti aset, modal, dan teknologi yang mutlak adanya untuk mendorong pertumbuhan pembangunan.
Para eksekutif bahkan sering meminta agar rencana penambahan SDI harus diperlakukan sebagaimana rencana investasi atas mesin-mesin produksi atau perangkat kerja dengan membuat perkiraan return on investment (ROI).
Hal ini menunjukkan bahwa rencana pengembangan SDI dalam perusahaan-perusahaan telah menjadi bagian integral dari rencana strategis bisnis perusahaan.
Banyak faktor yang memperkuat betapa pentingnya rencana pengembangan SDI yang efektif menghadapi perubahan-perubahan kedepan. Peter Drusker, seorang ahli manajemen, menyatakan bahwa sampai dengan tahun 2010 tenaga kerja di sektor manufaktur akan menjadi hanya sekitar 10 % dari posisi 21% pada saat ini. Banyak pekerjaan disektor jasa seperti perbankan, asuransi, transportasi, kesehatan, komunikasi dan industri lainnya tidak lagi memerlukan keterampilan tenaga kerja manusia dan terus digantikan oleh tekhnologi-tekhnologi mutakhir atau robot.
Kehadiran tekhnologi dan robot dalam proses produksi akan merubah peranan atau fungsi tenaga kerja manusia dalam organisasi perusahaan.
Perkembangan teknologi yang cepat tersebut akan mengurangi posisi-posisi tertentu dan menciptakan pengangguran. Ketrampilan tenaga kerja menjadi tertinggal atau kadaluarsa dibandingkan dengan kebutuhan ketrampilan dalam pekerjaan-pekerjaan baru. Ketidakmampuan tenaga kerja mengadaptasi perubahan tekhnologi akan berpengaruh langsung terhadap kuantitas dan kualitas produksi yang merugikan perusahaan. Realitas ini membuat rencana pengembangan SDI dalam jangka panjang sebagai integral rencana bisnis perusahaan menjadi sangat urgent.
Perencanaan Sumber Daya Insani
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan perusahaan maka diperlukan divisi-divisi baru atau perluasan fungsi divisi yang membutuhkan peningkatan ketrampilan dan pengetahuan baru untuk memenuhinya. Ketepatan perusahaan dalam membuat capacity planning dengan mendeskripsikan jenis-jenis pekerjaan dan mencocokkannya dengan kompetensi akan sangat menentukan efektifitas pemberdayaan SDI. Hal ini sangat penting sebagaimana dalam hadis nabi “ jika suatu pekerjaan tidak dipegang oleh ahlinya maka tunggulah waktunya (kegagalannya).
Kompetensi bukanlah sekedar ketrampilan dan pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pelatihan dan pendidikan. Lebih dari itu, kompetensi adalah kemahiran seseorang dalam mempergunakan ketrampilan dan pengetahuannya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya secara efektif. Kompetensi meliputi juga unsur prilaku, motivasi, traits, dan citra diri.
Kompetensi merupakan fenomena gunung es yang terjadi pada diri manusia. Di atas permukaan, ketrampilan dan pengetahuan merupakan pemandangan yang tampak dan mudah diukur sehinga mudah untuk dikembangkan. Sedangkan di bawah permukaan terdapat faktor nilai, motivasi, sifat, dan citra diri yang sulit untuk diukur sehgingga sulit untuk dicari metode pengembangannya, tetapi sangat menentukan keberhasilan suatu pekerjaan. Banyak kejadian penurunan kinerja atau kegagalan dari para profesional pemegang jabatan kunci bukanlah disebabkan oleh kekurangan technical skill tetapi karena terjadinya beban psikologis tertentu yang mempengaruhi suasana kerja. Beberapa kompetensi menjadi semakin penting sejalan dengan meningkatnya kompleksitas suatu pekerjaan.
Ketrampilan
dan Pengetahuan
_______

• Nilai
• Motivasi
• Sifat
• Citra diri

Integritas rencana SDI kedalam rencana strategi bisnis menjadi sangat penting dalam menentukan keberhasilan perusahaan. Penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan program SDI didukung oleh rencana strategi bisnis yang memperhitungkan secara jelas dan tegas kebutuahn SDI dalam jangka panjang antara 2 hingga 4 tahun kedepan. Rencana pengembangan SDI ini bukanlah hanya dilakukan selama 1 atau 2 bulan selama proses perencanaan dan kemudiaan berhenti hingga tahun berikutnya, tetapi merupakan proses berjalan (on going) yang meliputi masukan reguler atas kinerja, revisi data, dan identifikasi terhadap arah perkembangan baru.
Perusahaan semestinya dapat mengembangkan model-model kompetensi yang dibutuhkan untuk mencapai sukses. Kompetensi tersebut dapat dihubungkan dengan strategi, struktur organisasi dan kultur perusahaan. Model tentang persyaratan atau kualifikasi kompetensi tersebut kemudian dijabarkan dan diimplementasikan kepada karyawan dan proses rekrutmen untuk mengetahui bentuk pelatihan yang dibutuhkan dan anggaran biayanya (training needs analysis).
Hal penting lainnya yang menentukan dalam pemberdayaan SDI adalah struktur dan administrasi atas paket kompensasi yang memuaskan. Kompensasi sering dianggap sebagai kenaikan biaya tetap yang tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sehingga sering terjadi membuat para pemimpin perusahaan memutuskan untuk mengurangi tenaga kerja. Kompensasi perlu didisain secara baik sesuai dengan tingkat keberhasilan perusahaan dan berhubungan dengan kinerja pencapaian goals dari karyawan.
Struktur dan Kultur dalam Pemberdayaan SDI
Struktur dan kultur perusahaan akan sangat menentukan keberhasilan perusahaan dalam mencapai kinerja yang tingi. Dua hal ini telah disebut sebagai faktor yang turur mempengaruhi model kompetensi yang disyaratkan. Dalam konteks pengembangan bank syari`ah pemberdayaan SDI akan dapat berjalan secara efektif dengan memberikan kinerja yang tinggi bila didukung oleh struktur perusahaan yang dapat mendistribusikan PIKR (Power, information, Knowledge, and Rewards) secara baik dan benar atau adil. Struktur demikian haruslah menghilangkan hambatan sekat-sekat vertikal birokrasi yang tidak perlu. Dengan demikian struktur perusahaan menggambarkan kondisi paling ideal mengikuti strategi yang hendak ditempuh. Masing-masing divisi memiliki fungsi dan peranan untuk mencapai tujuan perusahaan dan tidak terlepaskan dari divisi-divisi lainnya.
Untuk mendukung high performance organization di atas maka diperlukan kultur perusahaan yang sepadan. Sebagai bank yang berlandaskan prinsip Islam dalam operasinya, maka sepatutnyalah bank Syari`ah memiliki kultur yang Islami. Kultur ini dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai yang memperkaya atau meningkatkan kualitas kerja sebagai bagian dari ibadah. Beberapa nilai tersebut telah coba dikembangkan dengan istilah ZIKR (zero based, Iman, Konsisten, dan Result Oriented).
Kultur zero based dimaksudkan agar karyawan diseluruh level melihat persoalan dari kaca mata yang jernih, bebas dari belengu atau pengaruh paradigma dan pengalaman masa lalu. Dengan kebiasaan memandang persoalan atau tantangan secara zero based diharapkan dapat menimbulkan motivasi dan kreatifitas sehingga memberikan jalan keluar yang lebih baik. Kerapkali prasangka awal yang tumbuh dalam menghadapi persoalan menyebabkan timbulnya sikap underestimate atau overestimate sehingga mempengaruhi kinerja (performance)
Iman adalah kepercayaan atau keyakinan diri yang kuat untuk dapat menyelesaikan persoalan atau tantangan pekerjaan yang tumbuh karena keimanan kepadaAllah SWT. Keimanan ini akan menumbuhkan optimisme dan motivasi kerja yang besar. Keputusan –keputuasn perusahaan yang telah dibuat secara jernih harus didukung dan dilaksanakan oleh seluruh bagian secara kolektif dengan penuh semangat percaya diri.
Konsisten merupakan barang langka pada saat ini, khususnya ketika musim kampanye lalu. Konsistensi terhadap tujuan bersama dan cara yang hendak ditempuh oleh seluruh komponen perusahaan merupakan syarat mutlak tercapainya tujuan organisasi. Sikap ini sangat perlu dipraktekkan khususnya oleh top management untuk memberikan teladan kepada karyawan. Tanpa sikap konsisten maka sulit diharapkan terjadinya keterlibatan (partisipasi) seluruh karyawan untuk menegakkan disiplin kerja atau bahkan keputusan perusahaan.
Tanpa melupakan cara, BMI mendorong budaya untuk selalu berorientasi kepada tujuan akhir atau result oriented. Ini bukan berarti persoalan cara menjadi tidak penting. Tetapi dengan budaya ini maka seluruh karyawan didorong untuk berani memiliki impian, keinginan, target dan goals yang terus-menerus didekati dengan berbagai cara sehingga menumbuhkan kreatifitas dan menemukan cara efektif untuk mencapainya.
Tujuan akhir dari pemberdayaan SDI dengan menerapkan struktur dan kultur perusahaan yang PIKR dan ZIKR adalah terbentuknya masyarakat perusahaan yang MIKR (militan, Intelek, Kompetitif dan Regeneratif). Untuk mencapai tujuan dan target perusahaan diperlukan sikap militan yakni sikap yang tidak mudah mnyerah, ulet, tidak ragu-ragu, dan penuh semangat. Hal ini sangat penting bagi BMI mengingat misi mulianya dalam meningkatkan peran umat Islam dalam perekonomian nasional khususnya dalam mengangkat pengusaha kecil. Namun demikian, militansi karyawan yang diharapkan bukanlah seperti para demonstran yang ikut-ikutan, tetapi memiliki kapasitas intelektual bahwa yang diperjuangkan adalah sesuatu yang hak dan akan menang.
Dengan struktur dan kultur perusahaan diharapkan karyawan BMI memiliki daya saing tinggi atau kompetitif menghadapi perubahan dalam meningkatkan kualitas pelayanan terhadap nasabah. Basis kompetitif ini sangat perlu dalam meningkatkan kulaitas pelayanan terhadap nasabah. Tanpa SDI yang kompetitif maka perusahaan akan tinggal menunggu waktu ditelan arus global yang terus mengalir masuk. Kultur ZIKR yang menjadi sikap militan, intelek, dan kompetitif harus dapat mempertahankan kelangsungan nilai-nilai tersebut dalam organisasi atau regeneratif. Untuk itu maka struktur organisasi harus benar-benar mampu secara baik mendistribusikan PIKR secara adil. Wallahu A’lam

HUKUM DAN KEHIDUPAN SOSIAL

A. Pendahuluan

Masyarakat modern maupun sederhana selalu membutuhkan keadilan dan kepastian hukum, dan oleh karena itu masyarakat menciptakan aturan-aturan yang diakui secara kolektif yang menjadi pedoman dan rujukan dalam menentukan batas-batas hak dan kewajiban yang disebut dengan kaedah. Penyimpangan terhadap kaedah ini akan mendapatkan sanksi atau balasan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Semuanya ini menunjukkan bahwasanya dalam setiap masyarakat ada suatu sarana yang mengatur disebut hukum, yang harus dipatuhi oleh masyarakat untuk terciptanya ketenteraman.
Keberadaan hukum merupakan jaringan sosial yang seolah-olah mengatur segenap sudut kebudayaan tanpa batas yang nyata. Hukum sebenarnya tidak dapat dibedakan secara tajam dari bentuk prilaku sosial, hukum juga adalah karya manusia yang berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku yang merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan.
Hukum merupakan fenomena ataupun gejala sosial yang berasal dari masyarakat, digunakan untuk mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat itu sendiri. Eksistensi hukum dalam masyarakat merupakan kebutuhan disebabkan adanya keinginan-keinginan untuk mencapai kedamaiaan dan ketertiban dalam masyarakat.
Makalah ini akan membahas tentang hukum sebagai fenomena sosial, kaedah sosial, teknologi sosial, hukum dan pelapisan sosial, hukum dan penyelesaian konflik dan poses pembentukan norma dalam masyarakat.

B. Hukum sebagai Fenomena Sosial
Hukum merupakan fenomena sosial yang berasal dari masyarakat dan digunakan untuk mengatur bentuk-bentuk hubungan dalam masyaraakat itu sendiri. Hukum dapat mempengaruhi pola tingkah laku individu-individu maupun kelompok dalam masyarakat itu. Berkenaan dengan ini Timasheff mengatakan: umumnya norma-norma hukum secara nyata akan menentukan prilaku manusia di dalam masyarakat.
Berdasarkan undang-undang atau aturan-aturan hukum ada asumsi bahwa adanya hubungan antara berbagai pola prilaku yang menjelma ke dalam bentuk hukum dengan prilaku nyata dari individu, asumsi tersebut menunjukkan bahwasanya hukum mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku manusia. Kita lihat misalnya peraturan wajib helm: Semua orang yang mengendarai kendaraan roda dua harus atau diwajibkan memakai helm. Ternyata setelah peraturan itu dikeluarkan maka sebagian masyarakat mematuhinya. Ada mekanisme hukum dalam mempengaruhi prilaku manusia. Akhirnya dalam masyarakat hukum bukan lagi merupakan suatu keharusan atau kewajiabn tetapi telah menjadi suatu kebutuhan.
Cara kerja hukum yang demikian menunjukkan bahwa semakin kompleks hubungan yang dijumpai dalam masyarakat maka semakin banyak pula hukum yang diperlukan untuk mengatur hubungan tersebut, dan keberadaan hukum di tengah-tengah masyarakat merupakan sesuatu yang timbul akibat adanya proses sosial yang selanjutnya tumbuh menjadi fenoma sosial dalam masyarakat. Hubungan antara fenomena sosial dengan proses sosial adalah sangat rapat dan tidak dapat dipisahkan, di mana proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta hubungan-hubungan tersebut.
Rangkaian hukum sebagai sebuah fenomena sosial yang tumbuh berdasarkan proses sosial dalam masyarakat adalah fakta yang wajar dengan mengingat kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat itu akan pentingnya kelanggengan dan ketertiban dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu munculnya lembaga dalam masyarakat seperti perkawinan, kewarisan, pemilikan, jual beli dan sebagainya bukan disebabkan adanya hukum melainkan sudah ada sebagai ciptaan dan proses sosial yang berjalan di dalam masyarakat itu.
Vinogradoff mengatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya hukum adalah karena adanya praktek-praktek yang dijalankan sehari-hari yang dibentuk oleh fikiran selanjutnya memberi dan menerima suatu hubungan yang wajar dalam suatu kerjasama sosial.
Untuk memberi pemahaman tentang hukum sebagai fenomena sosial yang timbul dari proses-proses sosial, maka akan dikemukakan faktor-faktor yang harus digunakan oleh hukum, yaitu:
1. Ia harus terdiri dari kenyataan-kenyataan fisik dan psikologis, seperti fakta-fakta tentang kelamin, iklim, dan sebagainya.
2. Ia harus meliputi semua fakta, tradisi, keadaan lingkungan yang mengolah fakta-fakta tersebut menurut suatu cara tertentu.
3. Ia terdiri dari azas-azas yang dilahirkan dari pertimbangan berdasarkan kewajiban tentang hubungan-hubungan antara manusia, seperti keadilan, penghormatan dan lain-lain.
4. Ia memasukkan unsur dinamis, oleh karena itu ia mencakup aspirasi-aspirasi moral dari suatu kurun masa dan peradaban tertentu.
Melalui ahli hukum faktor-faktor tersebut diolah melalui tehnik hukum sehingga hasilnya akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu lembaga perkawinan misalnya tidak akan ada jika tidak ada pria dan wanita. Hukum hanya menerima faktor tersebut dan kemudian mengorganisasikannya menurut lembaga yang dibutuhkan sehubungan dengan adanya lembaga tersebut.
C. Hukum sebagai Kaedah Sosial
Manusia dalam hidupnya mempunyai hasrat untuk bergaul dengan sesamanya. Di samping hasrat untuk bergaul manusia juga punya hasrat agar pergaulan hidup berlangsung dengan teratur. Akan tetapi apa yang dianggap teratur oleh seseorang belumlah sesuai dengan keinginan yang lainnya. Padahal dengan adanya keteraturan tersebut manusia hendak hidup secara pantas. Masing-masing prinsip tentang keteraturan tersebut apabila dibiarkan maka sangat besar kemungkinan pergaulan hidup akan berlangsung tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kondisi tersebut maka diperlukan suatu pedoman tertentu agar tidak terjadi pertentangan-pertentangan yang merugikan hidup. Pedoman tersebut dinamakan kaedah. Kaedah merupakan pedoman atau patokan tentang bagaimana berprikelakuan secara pantas. Pada hakekatnya suatu kaedah merupakan pandangan menilai (waarderingsoordel) terhadap prikelakuan tertentu dari sudut sifat hakekatnya yang disebut norma.
Hukum sebagai kaedah yaitu bahwa hukum merupakan patokan prilaku (pedoman) bagi masyarakat dalam pergaulan dan kehidupan. Dalam pergaulan hidup dikenal macam-macam kaedah atau norma yang menjadi pedoman yakni:
1. Kaedah atau norma agama yaitu peraturan-peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-perintah, larangan-larangan dan aturan-aturan yang berasal dari Tuhan.
2. Kaedah atau norma kesusilaan yaitu peraturan hidup yang datangnya dari hati sanubari manusia.
3. Kaedah atau norma kesopanan yaitu peraturan hidup yang timbul dari pergaulan, interaksi sekelompok manusia dalam masyarakat dan mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia lainnya.
4. Kaedah atau norma hukum yaitu peraturan yang dibuat oleh penguasa yang isinya mengikat kepada setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara.
Tiga kaedah atau norma yaitu kaedah agama, kesusilaan dan kesopanan tidak cukup untuk menjamin terpeliharanya kepentingan-kepentingan individu dalam bergaul, hal ini disebabkan karena tiga kaedah tersebut tidak mempunyai sanksi tegas, karena itulah diperlukan kaedah yang mempunyai sanksi tegas, bersifat memaksa dalam kehidupan yaitu kaedah hukum yang berisi: suruhan, larangan, dan kebolehan. Kaedah hukum yang berisikan suruhan dan larangan bersifat imperatif artinya ialah kaedah tersebut secara apriori harus ditaaati, sedangkan kaedah hukum yang berisikan kebolehan bersifat fakultatif artinya ialah kaedah hukum tersebut secara apriori tidak terlalu mengikat. Kaedah hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian di dalam kehidupan bersama di mana kedamaian berarti suatu keserasian antara keterikatan dengan kebebasan.
Tugas hukum tidak lain dari pada mencapai keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum secara bersamaan. Apabila kaedah atau norma telah dipahami dan ditaati oleh masyarakat maka dapat dikatakan bahwa kaedah-kaedah tersebut telah melembaga. Himpunan kaedah yang oleh masyarakat dianggap mengatur kebutuhan-kebutuhan pokok lazimnya disebut lembaga sosial atau pranata sosial.
D. Hukum sebagai Teknologi Sosial
Membahas hukum sebagai teknologi sosial haruslah melibatkan peranan-peranan orang-orang yang berada di dalamnya. Hal ini berarti bahwa pekerjaan-pekerjaan hukum itu tidak berbeda dengan teknologi lainnya yang dilakukan oleh insinyur, dokter dan sarjana lain. Mereka ini mempunyai keahlian di bidangnya masing-masing untuk memainkan peranan dalam menghasilkan produk-produk yang baru yang pada akhirnya dapat bermanfaat bagi manusia.
Demikian juga dengan ilmu hukum, seorang ahli hukum menggunakan undang-undang yaitu dengan menerapkannya di dalam masyarakat sehingga ilmu hukum ini di satu sisi menjadi ilmu terapan dan di sisi lain berfungsi sebagai ilmu murni. Sehubungan dengan ini Huntington Cairne menyebutkan bahwa Law as a social Science. Sebagai teknologi sosial, maka ilmu pengetahuan hukum harus mampu menciptakan dan menerapkan peraturan-peraturan hukum yang diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan sosial yang diharapkan.
Para ahli hukum selalu dituntut untuk memberikan jawaban dengan membuat peraturan-peraturan hukum sebagai akibat daripada perubahan-perubahan besar dalam masyarakat, akibat teknologi maupun tekanan (pressures) yang disebabkan oleh pertambahan masyarakat dan hokum, dalam kondisi ini diharapkan mampu memberikan respon terhadap perubahan-perubahan tersebut.
Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembangunan masyarakat, hal didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu hal yang dianggap sangat penting dan sangat diperlukan. Di samping itu hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah-arah kegiatan warga masyarakat tersebut ke arah tujuan yang hendak dicapai perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogyanya dilakukan di samping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian sosial.
E. Hukum dan Pelapisan (Stratifikasi) Sosial
Stratifikasi (lapisan) tidak dapat dihilangkan dalam setiap masyarakat bagaimanapun bentuk susunan masyarakat tersebut. Karl Marx yang terkenal dengan ajaran sosialisnya pernah keliru dalam menganalisa persoalan stratifikasi sosial. Marx menyimpulkan bahwa, kelas-kelas dalam masyarakat (stratifikasi sosial) dapat dihapuskan abila alat produksi dikuasai oleh kelompok (golongan) proletar. Kenyataannya tidaklah demikian. Ide yang dimajukan oleh Karl Marx tersebut tetap tidak pernah terwujud, sebab dalam kenyataannya tetap ada masyarakat atau kelompok yang disebut sebagai kaum Borjuis dan kaum proletar.
Meskipun penekanan Karl Marx dalam menganalisa masalah ini melalui pendekatan ekonomi, tetapi penghapusan kelas-kelas berdasarkan status ekonomi tersebut tetap tidak pernah ada. Hal ini disebabkan karena, jika satu kali alat-alat produksi dikuasai oleh kaum proletar maka akan tiba saatnya pergeseran status di mana kaum proletar itu akan menempati posisi Borjuis.
Tetapnya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat tersebut dikarenakan adanya sesuatu yang dihargai dalam masyarakat tersebut, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka sesuatu tersebut dapat menjadi bibit yang menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Meskipun pada umumnya manusia bercita-cita agar tidak ada perbedaan kedudukan dan peranan di dalam masyarakat. Akan tetapi cita-cita tersebut selalu ada pada kenyataan yang berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan marga-marganya pada tempat-tempat tertentu di dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat dari penempatan tersebut.
Suatu hipotesa dari ahli-ahli sosiologi yang mengatakan bahwa semakin kompleks stratifikasi sosial suatu masyarakat semakin banyak hukumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh karena semakin kompleks stratifikasi sosial, semakin banyak pula kepentingan yang hanya dapat diatur oleh hukum. Semakin komplek stratifikasi sosial diartikan sebagai keadaan di mana banyak sekali ukuran-ukuran yang dipergunakan sebagai indikator untuk mendudukkan seseorang di dalam posisi sosial tertentu.
Hipotesa tersebut di atas selanjutnya mempunyai akibat bahwa semakin rendah status seseorang di dalam masyarakat, semakin banyak hukum yang mengaturnya. Dengan kata lain semakin banyak kekuasaan, kekayaan, kehormatan, semakin sedikit hukum yang mengaturnya. Hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan tujuan hukum , yang tidak membedakan keadaan-keadaan semacam itu.
Para ahli tersebut melihat bahwa dengan terjadinya pelapisan sosial, maka hukumpun sulit mempertahankan netralitasnya atau kedudukannya yang tidak memihak. Pelapisan sosial ini merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat diskriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri maupun penegakannya.
F. Hukum dan Penyelesaian Konflik (Conflict Resolution)
Studi hukum dalam masyarakat kiranya akan berkepentingan terhadap konsepsi mengenai fungsi hukum. Menurut para pakar hukum fungsi-fungsi hukum itu antara lain meliputi:
1. Memberikan pedoman/pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku
2. Pengawasan/ pengendalian (Social control)
3. Penyelesaian sengketa (dispute settlement)
4. Rekayasa sosial (social engineering)
Di sini akan dilihat hukum sebagai sarana penyelesaian konflik (dispute settlement). Persengketaan/perselisihan dapat terjadi dalam masyarakat, antara keluarga, yang dapat meretakkan hubungan keluarga antara mereka dalam suatu urusan bersama, yang dapat membubarkan kerjasama.
Masyarakat menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa serta pemecahan perselisihan. Lembaga yang melakukan pekerjaan itu, cukup banyak bentuk dan gayanya. Dalam penyelesaian sengketa/perselisihan salah satu lembaga formalnya adalah pengadilan, namun tidak semua perselisihan selalu diselesaikan melalui lembaga formal ini. Karena di dalam masyarakat sebenarnya banyak sengketa yang diselesaikan sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan dengan bantuan orang-orang yang ada disekitarnya.
Hukum mempunyai tujuan melindungi kepentingan-kepentingan hidup masyarakat. Akan tetapi karena kepentingan-kepentingan itu saling bertentangan, maka tidaklah mungkin hukum itu dapat memberikan perlindungan penuh terhadap yang satu, serta mengabaikan kepentingan-kepentingan orang lain. Penjagaan kepentingan ini harus mencari jalan tengah untuk mencapai kompromi. Hukum mencari jalan untuk menyelesaikan persoalan ini dengan jalan mempertimbangkan seteliti-telitinya kedua jenis kepentingan yang bertentangan itu, sehingga terdapat keseimbangan.
Agar kelangsungan keselarasan interaksi seluruh anggota masyarakat dapat terwujud dan terpelihara, maka diperlukan hukum yang dibentuk atas keinginan dan kesadaraan yang sungguh-sungguh dari tiap-tiap individu dalam masyarakat. Peraturan-peraturan hukum tersebut dapat berupa hukum yang mengatur atau hukum yang memaksa. Bagi setiap penentang hukum akan dikenakan sanksi yang berupa hukuman atau pidana. Keadaan ini memberi indikasi bahwa hukum atau peraturan nilai-nilai keadilan masyarakat.
Sebagaimana pandangan Durkheim, hukum adalah konkretisasi dan obyektivikasi dari norma dan nilai-nilai. Jadi penyelesaian sengketa dalam masyarakat pun menggunakan hukum dari sumber kebiasaan, maka dapat dinyatakan bahwa hukum menjadi manajemen bagi penyelesaian sengketa.
G. Proses Pembentukan Norma dalam Masyarakat
Kehidupan bermasyarakat mengharuskan para anggotanya berhubungan satu sama lain di dalam berbagai hal. Mereka itu pada hakekatnya adalah pendukung-pendukung suatu kepentingan dan kebutuhan yang dapat diklasifikasikan dalam:
1. Kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan dan sebagainya
2. Kebutuhan keamanan, ketertiban dan ketentraman dari gangguan, ancaman atau serangan pihak lain
3. Kebutuhan akan kerja sama yang saling menguntungkan atau kerjasama untuk tujuan-tujuan kolektif
4. Kebutuhan akan kehormatan dirinya, akan penghargaan sebagai manusia yang bermartabat dan berkebudayaan.
5. Kebutuhan akan eksistensi dirinya dengan jiwa mereka, yang memiliki daya logika, etika dan estetika atau nalar dan kreatifitas guna membudayakan dirinya.
Kepentingan-kepentingan dalam masyarakat sering sekali bertentangan. Masing-masing anggota berusaha melindungi kepentingannya terhadap bahaya yang mengancam, selain itu mereka saling menggantungkan diri apabila kepentingan mereka perlu dipertahankan bersama. Untuk keperluan itu maka secara bersama-sama mereka mengadakan berbagai peraturan untuk menjaga kepentingan tersebut. Peraturan-peraturan tersebut umumnya disebut norma.
Tingkah laku dan perbuatan seseorang harus bisa disesuaikan dengan aturan ataupun hukum serta norma-norma yang berlaku di dalam lingkungan kelompok atau masyarakatnya. Hal ini disebut normalisasi. Normalisasi tergantung daripada norma-norma yang melindungi hidup bermasyarakat. Di mana saja orang bertempat tinggal akan dikuasai oleh norma-norma di mana tempat dia tinggal, dan ia harus pula menormalisasikan dirinya pada lingkungan norma-norma itu, sebab jika tidak ia akan terisolir dari masyarakat.
Pada umumnya norma-norma itu dapat dirinci dalam empat macam yaitu:
1. Norma kesusilaan
Norma kesusilaan bersumber dari hati sanubari (insane kamil) manusia, agar manusia menjadi makhluk sempurna maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan yang bersumber dari sanubari. Akan tetapi tidak setiap yang keluar dari hati nurani dapat diakui sebagai norma kesusilaan, sebab hanya norma-norma kehidupan yang serupa bisikan hati sanubari (insane kamil) yang diakui dan diinsyafi oleh semua orang sebagai pedoman sikap perbuatan sehari-hari. Norma-norma kesusilaan itu dapat juga menetapkan buruk baiknya perbuatan manusia dan turut pula memelihara ketertiban manusia dalam masyarakat. Norma kesusilaan ini bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
2. Norma Kesopanan
Norma kesopanan dikenal sebagai tata aturan yang hidup di dalam pergaulan sekelompok manusia, demikain pula timbulnya tata aturan tersebut adalah dengan pergaulan sekelompok manusia pula.
Tempat berlakunya norma kesopanan ini sangat terbatas, ia tidak mempunyai lingkungan norma agama dan kesusilaan. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, ia bersifat khusus dan setempat dan berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja.
3. Norma Hukum
Pengaturan yang dibentuk oleh penguasa negara menimbulkan kaedah berupa peraturan-peraturan dalam segala bentuk dan jenisnya. Di dalam kehidupan sehari-hari terbukti bahwa norma hukum mengikat setiap orang. Pelaksanaan norma hukum dapat dipaksakan dan dipertahankan oleh negara.
Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum adalah bersifat heteronom artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar diri manusia yaitu kekuasaan negara.
Keistimewaan norma hukum itu justru terletak dalam sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya yang berupa ancaman hukuman. Alat-alat kekuasaan negara berupaya agar peraturan-peraturan hukum itu ditaati dan dilaksanakan. Paksaan tidak berarti sewenang-wenang melainkan harus bersifat sebagai alat yang dapat memberi suatu tekanan agar norma-norma hukum itu dihormati dan ditaati.
4. Norma agama
Norma agama bersumber dari Tuhan, merupakan peraturan-peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, maupun larangan-larangan. Peraturan-peraturan yang bersifat perintah harus dipatuhi oleh manusia, tetapi pelanggaran terhadap perintah tersebut tidak mempunyai sanksi yang tegas, hanya mengharapkan kesadaran dari masing-masing individu.
H. Kesimpulan
Hukum merupakan fenomena sosial yang berasal dari masyarakat, hukum itu dibentuk untuk mengikat masyarakat dan digunakan untuk mengatur bentuk-bentuk hubungan dalam masyarakat itu sendiri. Hukum berisi aturan-aturan, perintah dan larangan-larangan yang menjadi pedoman bagi masyarakat untuk bertindak yang selanjutnya disebut dengan norma. Hukum dapat berfungsi sebagai kaedah dalam masyarakat hukum juga dapat berfungsi sebagai teknologi sosial yang bersifat praktis yaitu bahwa ilmu hukum diharapkan dapat menerapkan peraturan-peraturan hukum yang diperlukan bagi pembangunan masyarakat.
Kehidupan bermasyarakat juga menimbulkan adanya stratifikasi sosial yang disebabkan oleh hukum, kekayaan, kehormatan dan sebagainya. Dengan terjadinya stratifikasi sosial akan menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat karena tidak akan didapatkan hukum yang adil sebab kebiasaannya penegakan hukum dalam stratifikasi sosial akan bersifat memihak. Wallahu A’lam



DAFTAR PUSTAKA
Chairuddin, O.K. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Friedman, W., Legal theory. London: Stevens and Son’s, 1953.

Podgorechi, Adam dan Chirsthoper J Whelan, Sosiological Approaches to Law, terj. Widyaningsih. Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Purbacaraka, Purnadi, Disiplin Hukum adalah Disiplin Sosial, dalam editor Hukum dan Disiplin Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1988.

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986.

Soekanto, Soerjono, Antropologi Hukum: Materi Pengantar Ilmu Hukum Adat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1984.

----------------------, Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1992.

----------------------, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1983.

---------------------, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1991.

Soekanto, Soerjono dan Mustofa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers, 1987.

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Taneko, Soleman B., Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.

POLITIK HUKUM NASIONAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL

A Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas asas hukum dan berfalsafahkan Pancasila, melindungi agama dan penganut agama bahkan berusaha memasukkan ajaran dan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Pancasila adalah sumber hukum dari Hukum Nasional Indonesia, sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hukum dasar yang harus dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam bernegara Dan Pancasila sebagai falsafah negara, dasar negara dan hukum dasar mendudukkan agama dan hukum agama pada kedudukan yang fundamental
Dalam membentuk atau menyusun peraturan-peraturan hukum maka pertama-tama yang harus dipedomani adalah politik hukum dari suatu negara (Bakar, 1993:56) Politik hukum ini menghendaki berkembangnya kehidupan beragama dan hukum agama dalam kehidupan Nasional Hukum Nasional (dibentuk sejak kemerdekaan) adalah sistim hukum yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia yang mengakomodir dan memasukkan hukum agama dan tidak memuat norma hukum yang bertentangan dengan hukum agama
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia merupakan bahan baku dalam pembinaan Hukum Nasional Ajaran hukum Islam, terutama yang tercantum dalam Qur'an dengan sifatnya yang universal dapat diambil untuk memperkaya dan menyempurnakan Hukum Nasional
Melalui historical approach penulis akan mencoba mendeskripsikan lebih jauh bagaimana politik Hukum Nasional pemerintahan Soeharto (1966-1998) dan Habibie (1998-1999) dan pengaruh politik Hukum Nasional tersebut terhadap Hukum Islam di Indonesia

B Politik Hukum Nasional Priode Soeharto
Politik hukum adalah pernyataan kehendak dari pemerintah negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan ke arah mana hukum itu akan dikembangkan (Lubis, 1995:77) Moh Mahfudh MD menyatakan bahwa politik hukum dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu (Mahfudh, 1999:31)
Tekad awal Pemerintahan Soeharto adalah mempertahankan, memurnikan wujud dan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, sebagai koreksi total terhadap penyelewengan dan keburukan yang dilakukan rezim orde lama Munculnya pemerintahan orde baru pada mulanya menyimpan berbagai harapan umat Islam, sebab pada masa terakhir kekuasaan Soekarno keberadaan sosio politik umat Islam termarginalisasikan oleh kekuatan lainnya, khususnya Partai Komunis Indonesia (Halim, 2000:81)
Dalam menggambarkan konfigurasi perpolitikan rezim orde baru, Moh Mahfudh MD menyatakan bahwa, sejak periode 1966 sampai penghujung orde baru, konfigurasi politik diciptakan untuk membentuk negara yang kuat Negara kuat yang mampu menjalin kehidupan politik yang stabil karena pembangunan ekonomi akan berhasil jika didukung oleh stabilitas nasional yang mantap Meskipun pada awalnya orde baru memulai langkahnya secara demokratis, tetapi secara pasti lama kelamaan membentuk konfigurasi yang cenderung otoriter
Politik Hukum Nasional secara sosiologis setelah kemerdekaan sangat diperlukan, karena masyarakat Indonesia menghendaki perubahan dalam hal produk hukum Produk hukum peninggalan Pemerintah Belanda yang tidak sesuai lagi dengan idealita dan realita masyarakat Indonesia harus segera dicabut Tetapi penggantian produk hukum tidaklah mudah, harus ada justifikasi untuk tetap berlakunya hukum-hukum produk Belanda meskipun untuk sementara, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 aturan peralihan pasal II (Mahfudh, 1999:32)
Secara garis besar poitik hukum negara kita telah dirumuskan di dalam UUD 1945, sedangkan penjabarannya untuk setiap priode pembangunan dicantumkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi salah satu sumber hukum dalam sistim hukum nasional Politik hukum itu antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu di dalam hukum yang agama tidak memberikan ajaran atau ketentuan sendiri Upaya ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum khusunya hukum perdata merupakan hal yang sangat sulit Unifkasi hukum di tuntut untuk memperhatikan dan mengakomodir keaneka-ragaman budaya dan kesadaran hukum masyarakat yang mengacu kepada keyakinan dan nilai-nilai yang di anut oleh mereka (Bisri, 1998:80)
Dari ke empat GBHN yang tertuang dalam TAP MPR No IV/MPR/1973, TAP MPR No IV/MPR/1978, TAP MPR No IV/MPR/1983, TAP MPR No II/MPR/1988 tidak dapat disimpulkan secara tegas bagaimana politik hukum pemerintahan soeharto khususnya terhadap Hukum Islam (Taufiq, 1998:79) (Solly, 1989:106) Barulah dalam GBHN 1993 dengan TAP MPR No II/MPR/1993 politik hukum pemerintah terhadap hukum Islam nampak lebih jelas TAP MPR No II/MPR/1993 yang berkaitan dengan sasaran bidang hukum dalam pembangunan jangka panjang kedua (PJP II) dirumuskan sebagai berikut: "terbentuk dan berfungsinya sistim Hukum Nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum (Irsyad, 1996:17)
Sasaran bidang hukum dalam pembangunan lima tahun keenam (REPELITA VI) dirumuskan: penataan Hukum Nasional dengan meletakkan pola pikir yang mendasari penyusunan sistem Hukum Nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; penyusunan kerangka sistem Hukum Nasional serta penginventarisasian dan penyusunan unsur-unsur tatanan hukum dalam rangka pembaharuan Hukum Nasional; peningkatan penegakan hukum; serta peningkatan sarana dan prasarana hukum (Irsyad, 1996:17)
Kebijakan Pelita VI bidang hukum menentukan prioritas pembangunan dan penataan hukum di waktu yang akan datang menjadi bertambah penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana keamanan dan ketertiban masyarakat serta stabilitas nasional namun juga sebagai sarana pembangunan masyarakat
Dalam upaya dan proses penyusunan, pelaksanaan dan penilaian pembangunan sistim hukum nasional ini diperlukan wawasan yang sejalan dengan cita-cita nasional dan realitas bangsa yaitu wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan Bhinneka Tunggal Ika (Lubis, 1195:78)
Wawasan kebangsaan ialah wawasan yang bertolak dari paham bahwa negara kita adalah suatu negara kebangsaan (nation state) dan bukan negara yang berdasarkan ras yang ditentukan secara antropologis kultural dan bukan juga secara agama yang ditentukan oleh agama yang dianut oleh mayoritas
Wawasan Nusantara ialah pandangan yang melihat seluruh wilayah kepulauan nusantara ini sebagai suatu kesatuan hukum dalam arti bahwa di seluruh wilayah republik Indonesia pada akhirnya hanya berlaku suatu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional
Wawasan Bhineka Tunggal Ika juga diperlukan karena suasana dan kondisi kehidupan masyarakat yang hingga kini masih mempelihatkan berbagai perbedaan lokal, etnik-keagamaan dan lingkungan budaya, yang memerlukan pertimbangan dan perhatian Dengan adanya wawasan Bhineka Tunggal Ika akan menghindari timbulnya ketidak adilan dalam memperlakukan semua rakyat dengan berbagai latar belakang dan kondisi yang bervarian itu
Dibawah pemerintahan Soeharto, kekuasaan dipusatkan di tangan eksekutif dalam membangun politik yang kuat, sedangkan lembaga negara lainnya dibiarkan lemah dan tergantung pada eksekutif Sebagai akibat dari lemahnya lembaga-lembaga tersebut maka hampir semua produk legislasi yang disahkan lembaga perwakilan berasal dari usul pemerintah Pada umumnya lembaga perwakilan hanya melakukan perbaikan yang tidak prinsipil atas rancangan yang disampaikan oleh pemerintah (Mahfudh, 1999:237)
Secara umum arah kebijakan dan sikap pemerintahan Soeharto dapat dibedakan menjadi 2 periode yaitu priode Pra 1974 dan priode pasca 1974 (Lubis, 1995:82) Politik hukum memberlakukan Hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintahan Soeharto, dibuktikan dengan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 UU itu menetapkan: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya Dan pasal 63 UU perkawinan mengundangkan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah pengadilan agama bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi yang lainnya Dengan UU No 1/1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan hukum-Hukum Islam bagi pemeluknya dan menegaskan Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam
Kebijakan Soeharto dengan mengeluarkan UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman, UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Kebijakan di bidang Peradilan Agama khususnya, mengindikasikan hubungan yang erat antara negara dan Islam di Indonesia sejak paro ke-2 dekade 80-an
Untuk melihat Peradilan Agama dalam tataran politik hukum orde baru, maka beberapa nsur penting yang saling berhubungan adalah: (1) Landasan Konstitusional yakni Pancasila yang dioperasionalisasikan seara struktural dalam UUD 1945, (2) Di implementasikan norma-norma itu dalam bentuk politik hukum nasional yang dirumuskan dalam ketetapan MPR yaitu GBHN, (3) perubahan masyarakat, watak alami dan abadi dalam suatu masyarakat ialah mengalami perubahan, baik struktur maupun pola budayanya, (4) perubahan tata hukum itu dilakukan secara nasional, disengaja, berencana dan berjangka yang secara konkrit dirumuskan dalam rencana pembangunan nasional di bidang hukum, (5) perubahan itu sebagai hasil interaksi dari berbagai unsur dan potensi masyarakat yang majemuk, (6) Peradilan Islam Keenam unsur ini mempunyai variasi hubungan fungsional (simetrik), hubungan searah (assimetrik), dan hubungan timbal balik (reciproal) (Halim, 2000:17)
Beberapa peraturan lainnya adalah UU Pokok Pendidikan, Inpres No 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan juga hubungan pemerintah yang begitu kuat kepada organisasi cendekiawan seperti ICMI, telah memperjelas kecenderungan rezim orde baru di bawah pimpinan Soeharto untuk mengakomodir aspirasi umat Islam Disamping itu kebijakan yang dituangkan dalam UU no 7/1992 tentang Perbankan (Mardjono, 1997:53) dan dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI), Keputusan Bersama tingkat Menteri tentang Bazis dan kebijakan tentang jilbab, penghapusan porkas, dan SDSB Perkembangan ini mengindikasikan adanya titik balik dalam hubungan Islam dan Pemerintah, dimana mereka tidak lagi dipandang sebagai musuh tetapi sebagai partner dalam usaha yang dilakukan oleh orde baru untuk membangun negara
Dan dalam hubungannya dengan perwakafan dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1977 tanggal 17 Mei 1977 (LN, tahun 1977 No 30) tentang perwakafan tanah milik dan penjelasannya (TLN 3107) (Ichtiyanto, 1990:1974)

Politik Hukum Nasional Priode BJ Habibie
Gejolak reformasi sebagai fakta historis yang terjadi sejak bulan Mei 1998, yang telah berhasil mendesak berlangsungnya sidang umum istimewa MPR Nopember 1998 untuk mendapatkan garis-garis kebijakan (Public Policy) yang lebih segar dan akomodatif sesuai dengan tutntutan reformasi Hal ini dapat dilihat pada masa pemerintahan transisinya Presiden BJ Habibie menuju PEMILU 7 Juni 1999 dan MPR hasil PEMILU itu bersidang bulan Oktober 1999 (Solly, 2000:15)
Pemerintahan Habbie sebagai kelanjutan dari pemerintahan Soeharto, dimana masyarakat menghendaki reformasi pertama dalam bidang politik, ekonomi dan hukum Ketetapan MPR sebagai kelanjutan dari ketetapan pemerintahan Soeharto adalah TAP MPR No X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara, dari TAP MPR No IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Dalam TAP MPR No IV/MPR/1999 ini, hukum merupakan arah kebijakan yang utama dan secara tegas disebutkan bahwa hukum agama sebagai salah satunya unsur sistem Hukum Nasional Ini sangat menguntungkan bagi umat Islam untuk bisa mentransformasikan dan mengintegrasikan Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional Secara lengkap bunyi TAP MPR tersebut adalah "Menata sistem Hukum Nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan Hukum Nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak-adilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi
Kebijakan yang dilakukan pemerintahan Habibie dengan ditetapkannya UU No 17/1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji dan UU lain yang merupakan kelanjutan dari UU No 7/1992 tentang perbankan
Dilihat dari sistem Pemerintahan yang dilakukan Soeharto adalah stabilisasi sedangkan pemerintahan Habibie adalah demokratisasi TAP MPR pada masa Soeharto identik dengan Soeharto sedangkan TAP MPR pada masa Habibie belum tentu menggambarkan pemerintah, bahkan lebih sering bertentangan

D Pengaruh Politik Hukum Nasional Terhadap Hukum Islam
Hukum Islam yang dimaksudkan disini adalah peraturan-peraturan yang diambil dari Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad, dilambangkan melalui ijtihad oleh para ahli Hukum Islam,(Halim, 1996:99) seperti fiqh, fatwa, kepeutusan-keputusan pengadilan dan undang-undang yang dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam Indonesia
Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit diganti dan diterapkan Politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat Semakin baik hubungan Islam dengan politik semakin besar peluang hukum Islam di aktualisasikan, dan bila keduanya merenggang semakin sempit pulalah peluang hukum Islam dapat diterapkan
Jalur kontibusi hukum Islam, ditinjau dari perspektif pembinaan hukum nasional dapat ditinjau dari:
Pertama, kontribusi melalui peraturan perundang-undangan Karena peraturan perundang-undangan dapat bervarian, maka kontribusi hukum Islam dapat terjadi pada setiap macam peraturan perundang-undangan
Kedua, kontribusi melalui yurisprudensi
Ketiga, melalui pengembangan hukum kebiasaan
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang di taati oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dari keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan hukum yang nota bene merupakan bahan dalam pembinaan hukum nasional Dari sumber ajarannya, realita kehidupan hukum masyarakat, sejarah pertumbuhanya dan perkembangan hukum di Indonesia, berlakunya hukum Islam di Indonesia terdapat beberapa teori Mengenai hubungan antara hukum Islam dengan hukum nasioanl terlihat bahwa hukum agama (baca; hukum Islam) berada dalam hukum nasional Indonesia (teori eksistensi) Teori ini menyebutkan bentuk eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia adalah:
1. Ada, dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia
2. Ada, dalam arti adanya dengan kemandiriannya yang diakui adanya dan kekuatan wibawanya oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional
3. Ada, dalam Hukum Nasinal dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional
4. Ada, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional (Ichtiyanto, 1990:86)
Hukum Islam merupakan salah satu sistim hukum yang berlaku dan diakui di Indonesia, dan sejak diundangkannya UU No 7 tahun 1989 Hukum Islam makin luas masuk ke dalam sistim hukum positif Lahirnya UU No 7/1989 didasarkan kepada kebutuhan umat Islam dalam melaksanakan agamanya dan juga berlandaskan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. Negara republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram dan tertib
2. Untuk tujuan tersebut diperlukan upaya menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat
3. Salah satu upaya menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum adalah melalui Pengadilan Agama
4. Keaneka ragaman peraturan, kekuasaan dan hukum acara yang selama ini berlaku di Pngadilan Agama perlu segera diakhiri
5. UU tentang Peradilan agama ini untuk melaksanakan UU No 4/1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (Bakar, 1993:59)
Kebijakan yang diambil oleh Soeharto dalam menetapkan UU No 1/1974, Undang-Undang Perkawinan menciptakan hukum baru dalam Hukum Perkawinan Nasional Undang-undang perkawinan adalah hasil kompromi antara berbagai sistim hukum, filsafat hukum serta prosedur hukumnya UU No 1/1974 ini sangat besar artinya bagi Hukum Islam setelah dijadikan sebagai Hukum Nasional dan ditetapkannya Kompilasi Hukum Islam sebagai bahan rujukan bagi penetapan keputusan Hakim di Pengadilan Agama Peradilan agama di Indonesia dengan kompetensi absolutnya tentang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam (Halim, 2000:13)
Keluarnya PP No 28/1977 seperti yang dikehendaki oleh pasal 49 ayat (3) UU Pokok agraria, disebutkan bahwa salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik Peraturan Pemerintah ini kemudian disusul dengan berbagai peraturan perundangan lainnya (Usman, 1994:113)
Selanjutnya PP No 28 tahun 1977 dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang pada dasarnya sama dengan hukum perwakafan yang telah diatur oleh perundang-undangan yang telah ada sebelumnya Dengan dimasukkannya PP No 28/1977 ke dalam KHI maka ketentuan tentang perwakafan ini akan diberlakukan di Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara yang berhubungan dengan sengketa tanah wakaf dan yang berkaitan dengannya
Kebijakan soeharto dengan ditetapkannya Undang-Undang No7/1992 tentang Perbankan Peraturan perundang-undangan ini melakukan mu'amalat sesuai dengan Hukum Islam, menjadi pemecahan baru bagi orang-orang Islam dalam soal perbankan, dimana sebelumnya dalam menjalani kegiatan di bidang keuangan kaum Muslimin hanya mengenal seta menggunakan bank-bank umum dan asuransi umum yang notabene hukumnya terlepas dari kaidah-kaidah ajaran Islam
Kebijakan pemerintahan Soeharto dalam hal institusi-institusi yang resmi dibentuk oleh Pemerintah terlihat dengan adanya lembaga keagamaan Islam yang berdiri atas izin pemerintah, antara lain: MUI, LPTQ dan Lembaga Pendidian Agama Swasta (Soekarja, 1998:28)
Dalam hal pendidikan agama sebagai kelanjutan dari ketetapan MPRS pada tahun 1960 dan 1966 yang menetapkan pelajaran agama diberikan mulai dari SD sampai perguruan tinggi ditetapkanlah UU No 2/1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Dengan ditetapkannya UU ini pendidikan agama semakin eksis
Kebijakan yang diambil BJ Habibie -selaku orang nomor 1 pada masanya- tentang penyelenggaraan ibadah haji sebagai peningkatan terhadap pelayanan haji yang dari tahun ke tahun terus bertambah Perhatian terhadap pelaksanaan haji ini juga sudah dilakukan pada era-era sebelumnya dengan terdapatnya beberapa perubahan dan diduga semakin kuat dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang penyelenggaraan Ibadah haji tersebut
Perkembangan Peradilan agama dengan lahirnya UU No 35/1999 sebagai perubahan atas 2 pasal dari UU No 14/1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman Sebagaimana ditetapkan oleh pasal-pasal UU No 35 tahun 1999 dapat di ambil kesimpulan bahwa UU No 35/1999 menentukan: pertama, badan-badan peradilan agama secara organisatoris-administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung Kedua, pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dari lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara ke MA dan ketentuan pengalihan untuk masing-masing lingkungan peradilan di atur lebih kanjut dengan UU sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing ketiga, ketentuan mengenai tata cara pengadilan secara bertahap tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden
Dengan penyatuan "atap" tersebut maka Peradilan Agama di bawah pengawasan Mahkamah Agung dikhawatirkan munculnya problem baru di lingkungan Peradilan Agama pihak penguasalah yang akan mengakomodir aspirasi umat Islam

E Penutup
Kebijakan pemerintah terhadap hukum Islam berjalan dengan gelombang pasang surut dan sejalan dengan harmonisasi hubungan antara Islam dan negara Politik hukum yang dilaksanakan oleh Soeharto dan BJ Habibie didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dan dijabarkan oleh GBHN pada PJP I dan II Politik hukum tersebut dituangkan dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, dimana watak produk hukum sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya
Hukum Islam sebagai bahan baku bagi pembangunan Hukum Nasional semakin kuat setelah adanya ketetapan MPR No IV/MPR/1999 dengan dicantumkannya secara tegas bahwa hukum agama sebagai salah satu unsur sistem Hukum Nasional
Politik Hukum Nasional Soeharto dan BJ Habibie khususnya pada bidang Hukum Islam membuktikan bahwa Hukum Islam di Indonesia eksistensinya semakin kokoh dan memberikan implikasi positif bagi Hukum Islam dalam Hukum Nasional Wallahu A’lam

DAFTAR BACAAN
Aziz Thoha Abdul Islam Dan Negara Dalam Politik Orde baru, Gema Insani Press Jakarta 1996

Bakar Zainal Abidin Abu Pengaruh Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Di Indonesia dalam mimbar hukum No 9 th IV Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan agama Islam Jakarta 1993

Bisri Cik Hasan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistim Hukum Nasional Logos Jakarta 1999

Halim Abdul Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia PT Raja Grafindo Jakarta 2000

Hakim G Abdul Nusantara Politik Hukum Indonesia Yayasan LBHI Jakarta 1988

Hartono Sunaryati Politik Hukum menuju satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991

Ichtijanto Hukum Islam Dan Hukum Nasional Ind, Hill Co Jakarta 1990

----------- Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional: Sebuah gambaran posisi Mimbar Hukum No 13 Th V Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan agama Islam Jakarta 1993

Irsyad Syamsuhadi Politik Hukum Nasional Dan Jalur-Jalur Kontribusi Hukum Islam Dalam mimbar hukum No 29 Th VII Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan agama Islam Jakarta 1996

Kusumah Mulyana W Perspektif, Teori Dan Kebijaksanaan Hukum Rajawali Jakarta 1986

Lubis M Solly Serba-serbi Politik Hukum CV Mandar Maju Bandung 1989

Lubis Nur A Fadhil Hukum Islam Dalam Kerangka Teori Fiqh Dan Tata Hukum Indonesia Pustaka widya sarana Medan 1995 hal 82

Lindsey Timothy Law And Society The federation Press Sydney 1999

Mardjono Hartono Menegakkan Syari'at Islam Dalam Konteks Keindonesiaan; Proses Penerapan Nilai-Nilai Islam Mizan Bandung 1997

Mahfud MDMoh Politik Hukum Di Indonesia, Gema Media, Yogyakarta, 1999

---------------------- Pergulatan Politik Dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999

Seran Alexander Moral Politik Hukum Obor Jakarta 1999

Taufiq Kebijakan-kebijakan Politik Pemerintahan Orde Baru Mengenai Hukum Islam dalam Cik Hasan Bisri (Ed) Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia Logos Jakarta 1998

DEFENISI HUKUM

(Tinjauan Hukum Islam dan Barat)


A. Pendahuluan
Schacht mengatakan adalah mustahil untuk memahami Islam tanpa memahami Hukum Islam. (It is impossible to understand Islam withouth understanding Islamic Law).
Kajian tentang defenisi hukum merupakan kajian yang selalu menarik untuk dibicarakan oleh ahli hukum (Juris) Barat dan Islam yang tentu saja hasilnya selalu berbeda karena juris Islam memandang hukum Islam tersebut merupakan agama dan sekaligus hukum sedangkan juris Barat memandang hukum Islam hanyalah sebatas hukum unsich.
Pembicaraan mengenai defenisi hukum (dalam hal ini meneropong Hukum Islam dan Barat) tidak bisa terlepas dari diskursus mengenai apa saja yang menjadi ciri-ciri atau karakteristik dari padanya, dan barangkali ciri-ciri itu pula yang akan dominan tampil pada tulisan ini sebagai upaya membedakan hukum Islam dengan hukum-hukum lainnya, termasuk Barat.

B. Defenisi Hukum Secara Umum
Sulit memberikan jawaban memuaskan atas pertanyaan “apa hukum itu?. Hampir semua ahli hukum yang memberikan defenisi tentang hukum, memberikannya berlainan, barangkali kedaan itu menjadi indikator bagi banyaknya segi dan bentuk serta kebesaran hukum. Hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam satu rumus secara memuaskan. Namun untuk menghantarkan pembicaraan kearah itu kiranya pemakalah mengutip terlebih dahulu sebagaimana didefenisikan dalam oxford English Dictionary, bahwa hukum adalah “kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, dimana suatu masyarakat atau negara tertentu mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai subyeknya, orang yang tunduk padanya atau pelakunya. Tetapi dalam pengertiannya yang paling luas, istilah hukum mencakup setiap aturan bertindak. Defenisi hukum yang lain adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang berlaku kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Menurut Hooker istilah hukum berlaku bagi setiap aturan atau norma di mana perbuatan-perbuatan terpola. Sedangkan Blackstone mengatakan bahwa hukum dalam pengertiannya yang paling umum dan komprehensif berarti suatu aturan bertindak dan diterapkan secara tidak pandang bulu kepada segala macam perbuatan baik yang bernyawa maupun tidak, rasional maupun irasional. Ketiga defenisi hukum diatas memberikan sesuatu yang sama bahwa hukum memuat peraturan tingkah laku.
Menurut Austin, hukum adalah perintah dari yang berdaulat dan ia mendefenisikan hukum sebagai sebuah aturan yang ditentukan untuk membimbing manusia oleh manusia yang memiliki kekuasaan terhadapnya. Jadi, hukum harus dipisahkan dari keadilan dan yang dulu berlandaskan pada ide baik dan buruk diganti dengan berdasarkan pada kekuasaan dan atasan. Hukum ala Austin, karenanya mungkin merupakan perintah sorang tiran, tetapi Allah bukanlah tiran. Istilah hukum diterapkan pada aturan-aturan semacam itu dijalankan oleh kekuasaan memaksa yang berdaulat. Jadi hukum positif ala Austin ruanglingkupnya terbatas sedangkan hukum Allah menyeluruh dan universal.
Betapa luasnya ruang lingkup defenisi hukum dimana dalam defenisi tersebut sepertinya tidak terbatas asal saja dari sana dapat muncul apa yang dikatakan hukum. Baik hukum itu sebelumnya tidak ada kemudian ada yang diyakini atau paling tidak diklaim sesuatu itulah yang menyebabkan hukum tersebut ada. Demikian juga dikatakan defenisi hukum apabila dari sana didapatkan hukum. Jadfi defenisi hukum itu ada dalam arti material sebagai defenisi pengenalan (kenborn) dan ada dalam arti formal yaitu defenisi asal (wet born).
Defenisi hukum dalam arti material yaitu yang menentukan corak isi hukum atau sesuatu yang tercermin dalam isi hukum. Defenisi hukum materil menentukan arti asal hukum, menentukan ukuran, isi apakah yang harus dipenuhi agar bisa disebut hukum serta mempunyai kekuatan yang mengikat yaitu sebagai norma yang harus ditaati sebagai hukum.
Hal-hal yang termasuk kedalam faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum yaitu:
1. Struktur Ekonomi dan kebutuhan masyarakat;
2. Kebiasaan yang telah membaku di dalam masyarakat yang terus berkembang dan pada tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tingkah laku yang tetap;
3. Hukum yang berlaku yang terus berkembang melahirkan hukum yang baru
4. Tata hukum negara lain
5. Keyakinan tentang agama dan kesusilaan
6. Kesadaran hukum, yaitu keyakinan yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia sebagai anggota suatu masyarakat bahwa ia harus taat kepada hukum, dan
7. Defenisi hukum dalam arti formal, yaitu penampilan lahiriah dari hukum positif sebagai suatu kenyataan.
Defenisi hukum dalam arti formal adalah sesuatu yang dapat diketahui hukum yang berlaku sebagai hukum positif dalam suatu negara, misalnya: perundang-undangan, kebiasaan, hakim, perjanjian dan ilmu pengetahuan hukum.
Menurut aliran teologis, hukum merupakan produk akal dan amat erat kaitannya dengan konsep, tentang tujuan. Kebanyakan filsuf menganggap keadilan sebagai tujuan tertinggi dari hukum.
Hukum Barat merupakan adopsi ataupun bersumber dari hukum Romawi yang berisi kaidah-kaidah hukum perjanjian dan merupakan hukum positif yang dibuat oleh kekuasaan negara yang tidak mempunyai keterkaitan sama sekali dengan dogma agama. Dari sini dapat diketahui bahwa hukum romawi merupakan hukum buatan manusia / karya manusia dan hal ini tentunya berbeda dengan hukum Islam yang merupakan hukum Samawi (yang berasal dari Allah) yang tidak saja berisi dogma agama tetapi juga meliputi hukum-hukum yang diturunkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan manusia.
Para penulis yurisprudensi tidak mengakui bahwa perluasan hukum dengan proses analogi sama dengan menetapkan peraturan hukum yang baru tetap sekedar menolong untuk menemukan hukum. Deduksi-deduksi analogis yang mereka lakukan bersandar pada aplikasi akal manusia yang selalu dapat berbuat salah.
Hukum dalam kajian Barat dituangkan dalam undang-undang yang merupakan hasil dari kumpulan pendapat para sarjana yang ditulis dalam bentuk pasal-pasal yang merupakan produk akal manusia semata, dilengkapi dengan sanksi bagi orang-orang yang melanggarnya.

C. Defenisi Hukum dalam Kajian Islam
Menurut khazanah keilmuan Islam terminology hukum sering digandengkan dengan kata “Islam” sehingga menjadi hukum Islam. Kata-kata hukum Islam merupakan tejemahan dari term Islamic Law dimana seringkali dipahami oleh juris Barat dengan istilah syariat dan fikih. Padahal istilah hukum Islam tersebut sangatlah luas cakupan dan pengertiannya. Istilah hukum Islam tersebut dapat diartikan dengan syariat, hukum syar’i, fiqh dan qanun.
Untuk dapat memahami secara mendasar apakah hukum Islam itu maka perlu adanya pemahaman terhadap istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum Islam tersebut.

1. Syari’at
Secara etimologi berarti jalan keluarnya air minum. Menurut Syaltut term ini diartikan dengan aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah untuk pedoman bagi manusia dalam mengatur hubungannya dengan Tuhan, dengan manusia baik sesama muslim ataupun non muslim dan dengan seluruh aspek kehidupan. Ali as-Sais mengatakan bahwa syari’at adalah hukum-hukum yang diberikan Allah untuk hamba-hamba-Nya agar mereka percaya dan mengamalkannya demi kepentingan di dunia dan akhirat.
Dari beberapa defenisi di atas memberikan pemahaman bahwa syari’at merupakan aturan-aturan yang berasal dari Allah yang berfungsi sebagai pedoman bagi umat manusia untuk kebahagiaannya di dunia dan akhirat.

2. Hukum as-Syar’i.
Term ini oleh ulama usuliyin diartikan dengan titah Allah (Khitab Allah) yang berisi nilai-nilai tertentu ke dalam norma-norma yang berkaitan tentang prilaku manusia (human behavior) yang terdiri atas hukum wajib, sunat, haram, makruh dan mubah yang keseluruhannya merupakan kajian dalam hukum taklifi dan ketetapan tentang pra kondisi yang berhubungan dengan norma-norma tersebut yang terdiri dari sebab, syarat dan penghalang (mani’) yang merupakan kajian hukum wadh’i.

3. Fikih.
Secara etimologi berarti pemahaman terhadap sesuatu. Menurut terminologi fukaha term ini diartikan dengan hukum yang bersifat praktis yang dijabarkan dari norma-nora yang telah dikategorikan dalam hukum syar’i itu dan menghubungkannya dengan perbuatan-perbuatan manusia.

4. Ketiga hukum Islam di atas tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksa secara yuridis formil maka untuk pelaksanaannya dibutuhkan suatu wadah yang mampu mengontrol dan mengawasi operasional ketiga hukum Islam tersebut maka muncullah istilah qanun.

Qanun merupakan perundang-undangan yang disahkan, diberlakukan dan diawasi oleh lembaga-lembaga negara.
Antara syari’ah dan fikih memiliki hubungan yang sangat erat. Karena fikih adalah formula yang dipahami dari syari’ah. Syari’ah tidak bisa dijalankan dengan baik tanpa dipahami melalui fikih atau pemahaman yang memadai dan diformulasikan secara baku. Fikih sebagai hasil usaha memahami sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang melingkupi faqih yang memformulasikannya. Karena itulah sangat wajar jika kemudian terdapat perbedaan-perbedaan dalam perumusan mereka.
Dalam literatur lain ditemukan ciri-ciri pembeda hukum Islam dari lainnya yaitu bahwa hukum Islam menurut teori klasik adalah perintah Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw., Hukum Islam merupakan sistem ketuhanan yang mendahului negara Islam dan tidak didahului olehnya, mengontrol masyarakat Islam dan tidak dikontrol olehnya.
Sepanjang sejarah, kata hukum Islam diasosiasikan sebagai fikih, maka dalam perkembangannya, produk pemikiran hukum Islam, tidak lagi didominasi oleh fikih.Setidaknya masih ada tiga jenis produk lainnya:
a. Fatwa
Yaitu hasil ijtihad seorang mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Jadi fatwa lebih khusus daripada fikih atau ijtihad secara umum. Dikatakan lebih khusus karena boleh jadi fatwa yang dikeluarkan seorang mufti sudah dirumuskan dalam fikih hanya belum dipahami sipeminta fatwa.

b. Keputusan Pengadilan.
Produk pemikiran ini merupakan keputusan hakim Pengadilan berdasarkan pemeriksaan perkara di depan persidangan. Dalam istilah teknis disebut dengan al-Qadha’ atau al-Hukm, yaitu ucapan dan atau tulisan penetapan atau keputusan yang dikeluarkan oleh badan yang diberi kewenangan untuk itu (al-Wilayah al-Qadha). Ada yang mendefenisikan sebagai ketetapan hukum syar’i disampaikan melalui seorang qadi atau hakim yang diangkat untuk itu. Idealnya seorang hakim juga memiliki syarat sebagaimana seorang mujtahid atau mufti.

c. Undang-undang.
Yaitu peraturan yang dibuat oleh suatu badan legislative (Sultan al-Tasyri’iyah) yang mengikat kepada setiap warga negara dimana undang-undang itu diberlakukan, yang apabila dilanggar akan mendatangkan sanksi. Undang-undang sebagai hasil ijtihad kolektif (Jama’iy) dinamikanya relatif lamban. Karena biasanya, untuk mengubah suatu undang-undang memerlukan waktu, biaya, persiapan yang tidak kecil. Produk pemikiran hukum jenis undang-undang ini, memang tidak setiap negara muslim mempunyainya.
Syariat yang kemudian dijabarkan oleh fikih dan perangkat ilmu kesyari’ahan lainnya diaplikasikan melalui enam jalur: 1) Qadhi, yang memutus perkara sengketa dalam mahkamah, 2) Mufti, yang memberikan fatwa hukum kepada siapa yang berkonsultasi, 3) Sulthan (penguasa) yang mengambil berbagai langkah kebijakan administrarif terutama untuk menunjang terlaksananya syari’ah, 4) Faqih independen yang mengulas dan merumuskan hukum Islam dalam berbagai kitab secara akademik dan skolastik, 5) Muballigh, yang menyampaikan ajaran-ajaran Islam, 6) Mu’allim yang mengajarkannya kepada murid-murid dalam lembaga pendidikan.
Pemahaman terhadap hukum Islam dapat juga dilihat dari ciri-ciri / karakteristik hukum Islam itu sendiri antara lain: sempurna, elastis, universal dan dinamis, sistematis, ta’aqquli dan ta’abbudi. Di antara ciri khas hukum Islam dikatakan bahwa hukum Islam itu sangat memperhatikan segi kemanusaiaan seseorang, baik mengenai diri, jiwa, akal maupun akidahnya baik selaku perorangan maupun sebagai anggota masyarakat, baik mengenai anak dan isterinya maupun harta kekayaannya. Manusialah yang menjadi sumber bagi segala sumber hukum yang digariskan dalam Alquran. Hukum Islam memberikan penghormatan kepada manusia karena kemanusiaannya. Hukum Islam Islam tidak membenarkan seseorang melecehkan harga diri, mengancam atau menumpahkan darah orang lain. Disamping itu hukum Islam juga tidak mendasarkan perintahnya pada pemaksaan yang dapat menghilangkan kemerdekaan manusia dan membatasi gerak geriknya.
Hukum Islam mempunyai tiga watak yang tidak berubah-ubah, yaitu takamul (lengkap), wasatiyah (pertengahan), dan harakah (dinamis). Watak takamul memperlihatkan bahwa hukum Islam dapat melayani golongan yang tetap bertahan pada apa yang sudah ada dan dapat melayani golongan yang menginginkan pembaruan. Konsep wasatiyah menghendaki keselarasan dan keseimbangan antara segi kebendaan dan segi kejiwaan. Keduanya sama-sama diperhatikan oleh hukum Islam, tanpa mengabaikan salah satu diantaranya. Sedangkan dari segi harakah, hukum Islam mempunyai kemampuan untuk bergerak dan berkembang, memiliki daya hidup dan dapat pula membentuk diri sesuai dengan perkembangan masa. Dalam dinamikanya mengiringi perkembangan itu, hukum Islam mempunyai kaidah asasi, yaitu ijtihad yang dapat menjawab segala tantangan masa dan dapat memenuhi harapan zaman dengan tetap memelihara kepribadian dan nilai asasinya. Dalam bidang ibadah, misalnya hukum Islam menghargai seseorang apakah sudah mukallaf, berakal, sehat, sakit, dalam keadaan bepergian, tidur atau dalam kesulitan. Dalam bidang keluarga, ia memelihara prinsip yang menjamin kelangsungan perkawinan dan kemaslahatan suami isteri.
M. Thahir Azhary menyatakan bahwa ada lima sifat hukum Islam yang melekat pada dirinya sebagai suatu fitrah atau sifat asli yaitu (1) Bidimensional, (2) adil, (3) individualistis dan kemasyarakatan, (4) komprehensif dan (5) dinamis. Kelima sifat tersebut memperlihatkan betapa sesungguhnya hakikat hukum Islam. Bidimensional mencakup seluruh aspek kehidupan, kemudian adil yang berkaitan erat dengan sifat bidimensional tersebut yang melekat sejak kaidah-kaidah tersebut ditetapkan. Individualistik dan kemasyarakatan berarti hukum Islam mempunyai validitas (kekuatan berlaku) baik bagi perorangan maupun masyarakat.

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pandangan ahli hukum Islam dan ahli hukum barat berbeda dalam menentukan apa yang dimaksud dengan defenisi hukum. Perbedaan ini disebabkan perbedaan hakikat yang dicari dari defenisi hukum itu. Hukum menurut ahli hukum, hanya mempunyai implikasi (keterlibatan) dengan kehidupan dunia. Sedangkan hukum menurut Islam mempunyai implikasi dengan kehidupan dunia dan akhirat . Justeru itu hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari teks suci (baca; wahyu) baik matlu atau ghairu matlu yang disampaikan dari Syari’. Wallahu A’lam

DAFTAR PUSTAKA
al-Afriqi, Ibn Mansur. Lisan al-Arab (Beirut: Dar as-Sadir, t.t)

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)

Schacht, Joseph. an Introduction To Islamic Law, (Clarendon Perss, Oxford, 1964)

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1986)

Khallaf, Abd Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Beirut: dar al-qalam, 1978)

Mahmassani, Subhi. Filsafat Hukum Dalam Islam (Bandung: al-Ma’arif, 1981)

Madkur, Muhammad Salam, Peradilan dalam Islam, terj. Imron AM (Surabaya: Bina Ilmu, 1979)

Mubarak, Jais. Sejarah dan perkembangan Hukum Islam (Jakarta: PT Rosdakarya, 2000

Muslehuddin, Muhammad. Philosofhy of Islamic law and the Orientalist A Comparative Study of Islamic legal System, terj. Yudian Wahyudi Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran orintalis: Stusi Perbandingan Sistem Hukum Islam (Yogya: Tiara Wacana, 1997)

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997

as-Sais, Ali. Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Atwaruhu (Kairo: Majma’ al-Buhus al-Islamiyah, 1970)

Soemardi, Dedi. Sumber-sumber Hukum Positif (Bandung, Alumni, 1986)

Syaltut, M. Islam Aqidah Wa al-Syari’ah (kairo: Dar al-Qalam, 1966)

Usman, Suparman. Hukum Islam, (Jakarta, Gema Media Pratama, 1412 H./2001 M)

Zahrah, Muhammad Abu, Usul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Araby, tt.)

PASANG SURUT TAREKAT

ABSTRACTION

Tarekat in etimology is way or manner, which can be identified with word like: syari’ah, sabil, sirath and manhaj. By tarekat someone takes some phsicology levels in faith and practise of islam rule. Completely, tarekat in the beginning means way that has tobe taken for a sufi to get knowledge to get closer to The God, then develop to became a family organization of sufi follower which has same stream and certain ways in practicing religion experience under supervising of a mursyid.
Among the largest tarekat untill now is Naqsyabandiyah. This tarekat is found by Muhammad Ibn Muhammad Baha’ al-Din al-Naqsyabandiyah. This Syaikh was born in a villlage near Bukhara, in 1317 M.
As an Institution that held spiritual education for ummat to get close to The God, so the existency of tarekat must be supported and must be developed. By this way, moslem has the strong beliefly and good sense of religious for challenge globalizations era.

A. Prologue
Gerakan sufi yang muncul dalam permukaan sejarah Islam dapat dikatakan merupakan reaksi terhadap penafsiran tentang Islam yang terlalu menekankan aspek hukum yang kemudian mengarah kepada pemujaan terhadap hukum sebagai suatu ekspresi Islam yang komprehensif dan menyeluruh, padahal hukum itu sendiri hanyalah berkaitan dengan tingkah laku eksternal-lahiriyah manusia dan masyarakat, sehingga para sufi meragukan validitas pemahaman Islam seperti yang dikembangkan oleh para fuqaha' atau para ahli hukum Juga merupakan reaksi terhadap glamoritas material dan kemewahan duniawi yang mengarah kepada reduksiasi dan eliminasi terhadap aspek kejiwaan, kerohanian dan spiritualitas kemanusiaannya
Selain tasawwuf, didalam Islam juga dijumpai dan telah berkembang sebuah institusi yang disebut dengan tarekat yang mengadakan pembinaan rohaniah untuk berada sedekat-dekatnya kepada Allah Swt sebagaimana tujuan tasawwuf Menurut suatu pendapat bahwa institusi ini merupakan klimaks dari pengembangan pengamalan dan penerapan ajaran tasawwuf Perbedaannya, bila tasawwuf merupakan renungan dan aktifitas individual yang hanya dapat dinikmati antar kalangan elit kerohanian, sedangkan tarekat berbentuk aktivitas massal dari kaum muslimin yang didalamnya terdapat suatu ikatan yang sangat ketat antara guru (mursyid) dengan para murid dengan pola guru sentris
Ajaran tasawwuf yang mempunyai praktek-praktek tertentu akhirnya melembaga menjadi organisasi tarekat Tarekat mengambil bentuk organisasi yang memiliki praktek-praktek spiritual tertentu telah berkembang didunia Islam sejak abad klasik Perkembangan itu terjadi, pada mulanya tidak begitu semarak Namun, diabad pertengahan Islam, organisasi (tarekat) sufi tersebut menjadi gejala umum di jazirah Islam Perkembangan itu terus melaju hingga abad ke - 19
Melihat gambaran umum dari pada tarekat yang menjadi topik pembahasan makalah ini, cukup menarik untuk dikaji keberadaannya Permasalahannya adalah bagaimana sejarah lahirnya tarekat ini, sebagai sebuah institusi yang mengadakan latihan-latihan / pendidikan pengamalan dan penerapan ajaran tasawwuf kepada masyarakat umum Dapat diketahui bahwa tasawwuf merupakan pengamalan sisi esoterik dari ajaran agama dan berhubungan dengan dzauq yang tidak sembarangan orang mampu memasukinya Kajian ini terasa lebih menarik karena adanya pandangan yang pro-kontra terhadap keberadaannya, dan pengaruhnya didunia Islam

B. Wacana Tarekat
Tarekat secara bahasa berarti jalan atau cara, yang dapat diidentikkan dengan perkataan syari'ah, sabil, sirath dan manhaj Kata tariqah dalam bahasa arab ta, ra, qaf dan ta' marbuthah menjadi sebuah pengertian dalam pemahaman kaum sufi atau orang yang ingin memahami sufisme Karena tarekat tidak dijelaskan oleh satu orang, maka tarekat mempunyai banyak pengertian, hal itu tidak terlepas dari ajaran-ajaran sufi sebagai jalan untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, sehingga makna secara bahasa diteruskan menjadi pemahaman secara istilah (epistimologi)
Adapun tarekat dalam beberapa pengertian antara lain adalah jalan yang ditempuh oleh para sufi, dan digambarkan sebagai metode (the path; dalam bahasa Inggris) yang berpangkal dari syari'at, sebab jalan utama disebut syara' dan anak jalannya disebut thariq Karena tarekat dipergunakan pada terminologi suluk yang berarti perjalanan, yang akhirnya bermakna sebagai seperangkat etika dan moral yang menjadi pegangan para sufi, yang mengekspresikan aspek psiko-moral tasawwuf, yang tercermin dalam kehidupan sufi untuk menuju kepada Tuhan dan terdiri dari fase-fase yaitu maqamat dan hal Tarekat dalam perspektif inilah yang digunakan oleh al-Junaid (w 910), al-Hallaj (w 922), al-Sarraj (w 988), al-Hujwiri (w 1072), dan al-Qusyairi (w 1074)
Melalui tarekat, seseorang menempuh berbagai tingkatan psikologis dalam keimanan dan pengamalan ajaran Islam Ia dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan dari satu hirarki ke hirarki yang lebih tinggi, sehingga akhirnya ia mencapai "realitas" Mengetahui Tuhan adalah dalam bentuk mengalami Kata mengalami dalam bahasa Indonesia agaknya lebih representatif dengan istilah merasakan kehadiran Tuhan
Trimingham mendeskirpsikan tarekat dengan suatu merode praktis dalam membimbing murid dengan menggunakan pikiran, perasaan dan maqam-maqam secara hirarki untuk merasakan hakekat Tuhan Oleh Harun Nasution, dengan sangat ringkas, tarekat ia definisikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah Definisi yang disebut terakhir ini merupakan rumusan inti yang secara simplistis dapat mendeskripsikan karakteristik umum tarekat di dunia Islam
Menggarisbawahi penjelasan Trimingham yang menggunakan perkataan "at first a tariqa meant simply" tersebut menunjukkan indikasi adanya pergeseran makna pada masa selanjutnya sehubungan dengan ini, Harun Nasution menjelaskan bahwa pada masa awalnya tarekat merupakan jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi dalam tujuan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi yang mempunyai syaikh, upacara ritual dan bentuk zikir tertentu
Secara lebih lengkap, yakni tarekat yang pada mulanya berarti jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk memperoleh ma'rifat dalam usahanya mendekatkan diri kepada Tuhan, kemudian berkembang menjadi suatu organisasi kekeluargaan pengikut sufi yang sealiran dan mempunyai cara-cara tertentu dalam latihan pengalaman agama dibawah pengawasan seorang mursyid Mereka berkumpul dalam satu tempat yang dsebut ribath atau zawiyah yang berfungsi sebagai pusat pengajaran mencapai ilmu ma'rifat Proses pengajaran berjalan dengan satu cara yang diatur oleh syaikh Perkumpulan ini diberi nama yang dinisbahkan kepada pendirinya
Dengan penjelasan tersebut sudah dapat dipahami pengertian daripada tarekat khususnya dalam konteks pembicaraan pada masa sekarang ini, yakni sebuah organisasi yang didalamnya terdapat unsur-unsur syaikh atau mursyid, murid sebagai anggota dalam latihan-latihan spiritual untuk mencapai ma'rifah atau mendekatkan diri kepada Tuhan Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas dapat dilihat uraian dibawah ini
1. Syaikh/Mursyid, adalah seseorang yang sudah merasakan kehadiran Tuhan dan melimpahkan perasaannya (pengalamannya) kepada orang lain Ia tidak saja berperan sebagai pemimpin dan penuntun murid-muridnya (anggota tarekat) dalam bidang kerohanian, tetapi juga penghubung dalam ibadat antara murid dan Tuhan karenanya terdapat sejumlah kriteria yang harus dimilikinya, diantaranya yang paling penting adalah pertama, alim dan ahli dalam memberikan tuntutanan-tuntunan ilmu fiqh, 'aqaid an tauhid, kedua, mengenal atau arif dengan segala sifat-sifat kesempurnaan hati, dan ketiga, segala perbuatan dan ucapannya bersih dari pengaruh nafsu
2. Murid, yakni pengikut tarekat yang menghendaki pengetahuan dan petunjuk mengenai segala amal ibadah dari mursyid Sebagai murid mereka menyerahkan diri dan tunduk dengan sepenuh-penuhnya kepada gurunya, sehingga guru menjadi penentu "merah-putihnya" nasib mereka {Penyerahan diri serta kepasrahan dimaksud bagaikan sosok mayat yang berada ditangan orang-orang yang memandikannya
3. Latihan spiritual / upacara ritual Masing-masing tarekat memiliki bentuk latihan spiritual / ritual keagamaan tersendiri Namun secara umum diantaranya seperti : (1) berkhalwat atau I'tikaf di zawiyah selama beberapa hari atas petunjuk mursyid, (2) berzikir dengan menyebut nama Allah atau sifat-sifatnya secara zahir dan bathin, dan (3) tawajjuh atau zikir berjamaah yang disertai perenungan bathin Kesemuanya ini dilaksanakan dengan tata cara yang telah dirumuskan dan diajarkan masing-masing mursyid

C. Sejarah Munculnya Tarekat Dan Perkembangannya Didunia Islam
Pada awalnya tarekat hanya berarti jalan menuju Tuhan yang ditempuh seorang sufi secara individual Tetapi selanjutnya para ahli sufi mengajarkan tarekat yang ia tempuh itu kepada para muridnya, baik secara personal maupun organisatoral jadilah tarekat dalam hal ini bermakna jalan menuju Tuhan dibawah bimbingan seorang guru sufi Disamping itu munculnya tarekat sebagai sebuah institusi yang melakukan pembinaan batin masyarakat umum untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah tidak terlepas daripada keberadaan tasawwuf serta kecenderungan kondisi kehidupan umat
Dalam situasi seperti itu wajarlah kalau umat Islam mencari kompensasi, yakni berpegang pada doktrin yang dapat menentramkan jiwanya Tarekat dalam hal ini merupakan warisan kultural yang diwariskan oleh ulama Islam sebelumnya yang dianggap telah banyak berhasil dalam segi menentramkan psikis seseorang yang berbasiskan agama Islam Oleh sebab itu "pelarian" terhadap tarekat merupakan hal yang logis
Keberadaan tasawwuf sebagai faktor pendukung terbentuknya tarekat berkaitan dengan munculnya orang-orang sufi yang menjadi mursyid pada masa embrio pertumbuhannya Karena penyebaran ajaran tasawwuf (ketarekatan) secara massal dimulai dengan adanya mursyid-mursyid yang berhasil menyusun teknik-teknik zikir dan ritual lainnya untuk membimbing murid-muridnya, sedangkan lahirnya orang-orang suci tidak terlepas dari pengamalan dan pengalaman ketasawwufan
Sesuai dengan realita, orang-orang suci atau mursyid memiliki kelebihan-kelebihan yang bersifat supernatural dan menguasai ilmu ghaib Sementara masyarakat awam pada umumnya cukup menaruh minat dan mengagumi cerita-cerita tentang orang-orang suci dan ilmu-ilmu ghaib yang mereka kuasai Hal ini terlebih-lebih para mursyid mempropagandakan bahwa ketasawwufan / ketarekatan dapat mengantarkan manusia kepada kedalaman spiritual, kemantapan keyakinan agama dan keindahan akhlak, yang akhirnya meimbulkan rasa kebahagiaan hidup Pada saat yang bersamaan masyarakat umum sedang dihadapkan kepada problema sosial politik dan sangat mendambakan kedamaian dan kebahagiaan
Tanggal kelahiran tarekat tersebut sangat sulit dilacak dalam sejarah perkembangannya Namun dapat diprediksikan bahwa tarekat sudah muncul dalam perkembangan tasawwuf pada abad ke-3 dan 4 Hijriah, misalnya adalah tarekat al-Saqatiyyah, al-Tayfuriyyah, al-Hanraziyyah, al-Nuriyyah dan al-Malamatiyyah Adapun aliran seperti Qadariyah, Suhrawardiyah, dan Rifa'iyyah baru diketahui kelahirannya pada abad ke-3 Hijriah Semisal proses kelahiran tarekat pada awalnya, tarekat-tarekat yang disebutkan terakhir ini adalah juga terbentuk oleh kelompok murid-murid sufi besar
Pada masa pertengahan abad ke-3 Hijriyah, ajaran-ajaran tasawwuf sudah mulai diajarkan secara umum di Baghdad dan menarik minat yang luar biasa dari orang-orang awam Sebagaimana dikutip oleh DR Dimuh dari kitab al-Tashawwuf fi asy-Syi'ri al- Arabi, karya 'Abd al-Hakim Hassan dan buku Readings from the Myistics of Islam tulisan Margaret Smith, bahwa Junaid al-Baghdadi (w 297 H/910 M) merupakan salah seorang tokoh yang menetapkan kaedah-kaedah paham tasawwuf dan menyusun aturan-aturan bagi murid-muridnya yang berjumlah lebih kurang sepuluh orang
Walaupun pada saat itu sudah terdapat mursyid seperti yang diperankan al-Junaid al-Baghadi, murid serta kaedah dan peraturan yang ditetapkannya sangat sulit untuk mengatakan bahwa tarekat telah muncul pada abad ke-3 H/9 M karena belum pernah dijumpai penyebutan sebuah tarekat dengan nama tarekat Junaid sedangkan salahsatu ciri dari pada tarekat berupa nama yang diambil dari nama pendirinya, seperti tarekat Qadiriyah yang dibina oleh Syaikh Abd Qadir al-Jailani Dengan demikian keberadaan Junaid cenderung hanya sebagai perintis atau peletak sistem ketarekatan
Dengan lagkah-langkah yang dilakukan Junaid, para pemuka tasawwuf lainnya dan murid-murid mereka, maka bermunculanlah sejumlah tarekat, terutama sekali didaerah Mesopotamia (Irak) yang bertalian dengan Junaid al-Baghdadi dan daerah Khurasan (Iran) yang bertalian dengan Abu Yazid al-Bustami
Dalam wilayah Mesopotamia terdapat beberapa tarekat yang muncul, diantaranya yang terpenting dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan tarekat pada masaberikutnya,ialah:
1. Suhrawrdiyah, didirikan oleh Shihab al-Din Abu Hafs al-Umar (539-632 H / 1145-1234 M) Ia mendapat didikan tarekat dari pamnnya Abu an-Najib as-Suhrawardi (w 563 H / 1168 M) yang merupakan murid dari Ahmad al-Ghazali (w 520 H / 1126 M) Atas prakarsa murid-muridnya, tarekat ini berkembang ke berbagai wilayah Islam dan memiliki cabang-cabang yang cukup banyak
2. Rifa'iyyah, dibentuk oleh Ahmad Ibn 'Ali al-Rifa'i (1106-1182 M) Tarekat ini berkembang terutama sekali ke daerah Mesir dan Syiria dengan cabag-cabang seperti Badawiyya, Dasuqiyya, Shadiliyya dan Alwaniyya
3. Qadiriyya, dinisbahkan kepada Muhyiddin Abdul Qadir Ibn Abdullah al-Jailani (471-561 H / 1078-1166 M) Sebenarnya ia berperan sebagai pemuka Mazhab Hanbali atau seorang ulama, bukan seorang sufi Hanya keluarga dan murid-muridnya yang memandangnya sebagai mursyid tarekat (sufi) Kemudian atas prakarsa murid-muridnya ajaran-ajarannya meluas ke berbagai daerah Islam seperti Yaman, Syiria, dan Mesir
Selanjutnya adapun pertumbuhan dan perkembangan tarekat di Khurasan (Iran) dimulai dari tokoh seorang tasawwuf bernama Abu Ya'kub Yusuf al-Hamdani al-Buzanjirdi (441-535 H / 1049-1140 M) Diantara murid-muridnya terdapat Abd al-Khalid al-Ghuzdawani (w1220 M) yang menjadi pendiri tarekat Khawajaganiyya, serta Ahmad Ibn Ibtahim Ali al-Yasavi (w 1169 M) yang membentuk tarekat Yasaviyya Tarekat Khawajaganiyya berkembang di Turkistan dengan nama Naqsabandiyah yang didirikan oleh Muhammad Baha al-Din an-Naqsabandiyah al-Awisi (w 1389 M), sedangkan tarekat Yasaviyya berkembang ke berbagai daerah Islam, terutama sekali kedaerah Turki dengan nama Bektasiyya yang dibentuk Muhammad Ata' Ibn Ibrahim Hajji Bektash (w 1335 M)
Selain kedua tarekat tersebut, dari rumpun Khurasan ini masih dijumpai beberapa nama, terutama sekali tarekat Khalwatiyya yang dibentuk Umar Khalwati (w 1397 M) Tarekat ini berkembang luas di Turki, Syiria, Mesir dan Yaman Di Mesir, tarekat Khalwatiyya yang dibangun Ibrahim Gulsheini (w 1534 M) menimbulkan beberapa cabang, diantaranya tarekat Sammaniyya yang didirikan oleh Muhammad ibn Abd al-al-Karim Sammani (1718-1775 M)
Sebenarnya masih banyak lagi perkumpulan dan nama-nama tarekat yang tumbuh dan berkembang didunia Islam Karena murid-murid dari masing-masing tarekat yang telah mencapai kematangan pengamalan dan pengalaman akan membentuk perkumpulan baru dan bahkan dengan nama-nama yang baru pula, sehingga menimbulkan sejumlah besar cabang-cabang dan ranting-ranting
Diantara tarekat yang terbesar hingga saat ini adalah tarekat Naqsyabandiyah tarekat ini didirikan oleh Muhammad Ibn Muhammad Baha' al-Din al-Naqsyabandiyyah Syaikh ini dilahirkan disuatu desa dekat Bukhara, pada tahun 1317 M Tarekat ini memiliki pengikut di Turki, Kurdistan, Afganistan, Syria, Dagistan, Asia Tengah, Pakistan, China dan Asia tenggara seperti halnya Thailand, Filiphina, Malaysia dan Indonesia 
Dari sekian banyak tarekat yang telah disebutkan diatas terdapat sebahagian diantaranya masuk dan berkembang di Indonesia, yakni Qadiriyyah, Rifa'iyyah, Naqsabandiyyah, Khalwatiyyah dan Sammaniyyah Tarekat-tarekat ini masuk ke Indonesia diperhitungkan sejak abad ke-8 H yang dibawa oleh para saudagar dari Parsi, Tanah Arab, India serta ulama-ulama Indonesia yang menunaikan ibadah haji dan sempat menetap di Mekkah seperti Abdul Rauf Singkel

D. Pengaruh Tarekat di Dunia Islam
Melihat pertumbuhan dan perkembangan tarekat sebagaimana uraian diatas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa keberadaannya memberikan dampak positif terhadap penyebaran agama Islam Merupakan fakta nyata yang sulit dipungkiri bahwa masuknya Islam ke India, Indonesia dan Afrika tidak terlepas dari usaha-usaha yang dilakukan oleh para pengikut dan penganjur tarekat Hal ini disebabkan disamping ajaran-ajaran yang mereka sampaikan menjanjikan kedamaian dan kebahagiaan hidup, juga didukung oleh kemampuan mereka dalam menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi masyarakat yang mereka hadapi
Kemudian satu hal yang tidak kalah pentingnya, bahwa tarekat telah turut serta berjuang dalam melawan dan mengusir penjajah Hal ini dapat dilihat dalam sejarah dibeberapa negara Islam seperti Sudan, Maroko dan Indonesia Mereka berjuang dengan penuh semangat jihad dan tanpa pamrih bersama dengan masyarakat
Selain dampak positif tersebut diatas, keberadaan tarekat kiranya juga mendatangkan dampak negatif bagi keberadaan umat, terutama sekali menyangkut kemurnian aqidah dan perkembangan pemikiran Seperti para Mursyid memiliki suatu kemampuan bathin atau kekuatan yang bersifat supernatural Dengan hal ini banyak masyarakat mengkeramatkan mereka dan menjadikannya sebagai wasilah dalam bermohon kepada Tuhan Hal ini tidak saja ketika mereka masih hidup, melainkan juga setelah mereka meninggal dunia Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat keramat dan selalu diziarahi dan dipuja-puja untuk mendapatkan restu serta keberuntungan
Bersamaan dengan itu pula, sebagaimana diketahui bahwa didalam tarekat terdapat sistim yang menuntut kepatuhan yang demikian kuat para murid atau pengikut tarekat terhadap mursyid Mereka dijadikan sebagai sumber petunjuk dan segala yang mereka sampaikan sebagai suatu kebenaran atau tidak dipertanyakan lagi
Dari sisi lain Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip oleh Zakaria Hasyim Zakaria, memberikan gambaran bahwa tarekat-tarekat itu sebagai kelompok campuran yang dipersatukan oleh suatu kepentingan: melarikan diri dari dunia, senang bermalas-malasan dan menjauhkan diri dari kerja yang bermanfaat bagi kepentingan umat manusia Dengan demikian tarekat-tarekat ini juga mendorong suburnya semangat jabariah Pengaruh negatif yang ditimbulkan tarekat tersebut, walaupun pada konteks kekinian dirasa sudah berkurang tetapi masih cukup dirasakan Hal ini terutama berupa pengkeramatan terhadap mursyid dan kuburannya
Gerakan tarekat ini telah mengalami pasang surut mulai pada akhir abad ke-20 Hal ini seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan dalam dunia Islam yang dimotori oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha Hingga saat ini, gerakan-gerakan tarekat didunia Islam masih tetap eksis, kendati tidak sesemarak pada era keemasannya

E. E p i l o g u e
Dalam dunia sufi, tarekat dipahami sebagai sebuah metode psikologi moral untuk membimbing seseorang mengenal Tuhan Media olah spiritual ini lahir sebagai reaksi terhadap kondisi sosial politik yang tidak stabil sekitar abad ke-3 H Hal ini ditandai dengan perang salib dibelahan barat dan serangan tentara Mongol di belahan Timur Akibatnya, timbul usaha mencari kompensasi dikalangan umat Islam, yakni melalui tarekat dengan berpegang kepada doktrin yang dapat menentramkan jiwa Era kejayaannya adalah sekitar abad ke-7 hingga awal abad ke-20 Saat ini gerakan tarekat tetap eksis, walau tidak sesemarak era kejayaannya
Sebagai sebuah institusi yang mengadakan pembinaan rohaniah umat untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, maka keberadaan tarekat patut didukung dan dikembangkan Dengan hal ini diharapkan umat memiliki iman yang kokoh dan semangat keberagamaan yang tinggi, sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan zaman Namun melihat berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya, maka pola atau sistem lama perlu ada pembaharuan, terutama sekali dalam rangka menghindari tradisi pengkeramatan terhadap para mursyid dan kuburan-kuburan mereka yang dipandang dapat "mengotori" kemurnian aqidah umat Wallahu A’lam.

Daftar Pustaka
Simuh, Tasawwuf Dan Perkembangannya Dalam Islam., ( Jakarta, Raja Grafindo, 1996 )
Louis Ma'luf, Al-Munjid, (Beirut, Dar Al-Masyriq, 1973)
AW Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab - Indonesia, (Ygyakarta, Pustaka Progressif, 1984)
Nurcholis Majid, Islam Agama Peradaban; Membangun Makna Dan Relevansi Dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995)
Abu Al-Wafa' Al-Ghanimy Al-Taftazani, Madkhal Ila Al-Tashawwuf Al-Islamiy, (Mesir, Dar Al-Tsaqafah, 1973)
Mirce Aliade, The Encyclopedia Of Islam, (New York, Mac Millan Publishing, 1987)
J Spencer Trimingham, The Sufi Orders Of Islam, (London, Oxford University Press, 1973) Harun Nasution, Tarekat Qadariyyah Naqsyabandiyah, (Tasik Malaya, Iailm, 1990)
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, Bulan Bintang, 1986), Hal 89
Departemen Agama Ri, Ensiklopedi Islam, (Jakarta, Dirjen Binbaga Islam, 1992/1993)
Soekarna Karya Dkk, Ensiklopedi Mini Sejarah Dan Kebudayaan Islam, (Jakarta, Logos, 1996)
Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi Dan Tasawwuf, (Semarang, Ramadhani, 1984)
Fazlur Rahman, Islam, Terj Senoaji Saleh, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992)
Ahmad Tafsir, Tarekat Dan Hubungannya Dengan Tasawwuf, Dalam Harun Nasution, Tarekat Qadariyyah Naqsyabandiyyah, (Tasik Malaya, Tasik Malaya, Iailm, 1990)
K Ali, A Study Of Islamic History, (India, Idarah Adabi, 1980), Hal 273-280
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta, Ui Press, 1982), Hal 35
Mushtafa Hilmi, Al-Hayat Al-Ruh Fi Al-Islam, (Kairo, Mesir, Daar Al-Ihya', 1945)
Taiftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, (Bandung, Pustaka, 1974)
Iain Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawwuf, (Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Sumatera Utara, 1981-1982)
Martin Van Bruinessen, The Tarekat Naqsyabandiyyah In Indonesia, Alih Bahasa Hamid Algar, Tarekat Naqsyabandiyyah Di Indonesia, (Bandung, Mizan, 1996)
Annemarie Schimmel, Mystical Dimension Of Islam, Terj Sapardi Djoko Damono, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1986)
Zakaria Hasyim Zakaria, Araa'a Falsafah Wa 'Abaaqarah Al-Gharbi Fi Islam, Terj Salim Basyarakhil, (Jakarta: Gema Insani Press, 1991)