Minggu, 29 November 2009

PERUBAHAN KEPEMIMPINAN DAPAT MENGUBAH BUDAYA ORGANISASI

ABSTRAKSI
Adalah suatu proses yang wajar apabila di dalam suatu organisasi terjadi pergantian manajer, baik di eselon puncak, tengah, maupun rendah. Bagi organisasi, pergantian tersebut selalu mempunyai dampak terhadap keseluruhan proses organisasi, yang diharapkan selalu menuju ke arah tercapainya tujuan organisasi. Dampak yang paling tampak bahwa setiap pergantian manajer/ pemimpin akan membawa perubahan bagi organisasi, khususnya budaya dan 'wama' organisasi tersebut sesuai dengan karakter manajer/pemimpin tersebut. Paling tidak ada tiga kemungkinan kinerja organisasi sehubungan dengan penggantian manajer, yaitu 1) prestasi kerja organisasi akan naik, karena, biasanya pimpinan baru akan bersifat inovatif dan efektif; 2) prestasi organisasi akan tetap, karena karakteristik kepemimpinan yang biasa-biasa saja; dan 3) prestasi organisasi akan menurun karena kepemimpinannya kurang efektif dan ia sulit beradaptasi dengan lingkungan baru.
Di dalam keadaan yang menurun ini, organisasi dapat dikatakan sebagai "sakit" (paranoid). Sebaliknya, bila organisasi tersebut dapat meningkat kinerjanya, dapatlah disebut organisasi tersebut mempunyai budaya kuat yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan manajer baru, dan dengan demikian organisasi yang berbudaya kuat ini akan sanggup mengantisipasi segala perubahan lingkungan, baik internal maupun ekstemal, yang dinamis.
Tulisan ini dimaksudkan untuk membuat deskripsi bagaimana perubahan-perubahan budaya tersebut dapat terjadi, dan bagaimana sebaiknya dapat keluar dari budaya organisasi yang lemah.









PENDAHULUAN
Penggantian pemimpin/manajer dalam suatu organisasi sedikit banyak akan membawa perubahan dalam diri organisasi yang dipimpinnya. Perubahan tersebut, antara lain menjadi lebih baik prestasinya, menurun, atau mungkin akan tetap saja. Dalam suatu pengamatan mendalam terhadap setiap perubahan yang dialami organisasi sehubungan dengan adanya pergantian pemimpin suatu organisasi dalam beberapa kasus, ternyata ada faktor di dalam diri setiap pemimpin yang sedang berada di eselon atas setiap unit organisasi yang dapat menjadi faktor yang menyebabkan organisasi yang dipimpinnya akan mempunyai budaya lemah atau pun kuat.
Bagi pemimpin/manajer yang sukses membawa organisasinya ke arah prestasi baik (artinya budaya organisasinya kuat), temyata ia mempunyai ciri-ciri kemampuan manajerial yang baik dan juga berhasil mengembangkan budaya organisasi sesuai dengan visinya terhadap fungsi dan tugas organisasi tersebut. Dengan visinya yang kuat, maka seluruh karyawan terdorong dengan kuat pula untuk berprestasi tinggi, secara bersama-sama, selalu berbuat dan berpikir inovatif, dan juga dengan baiknya melayani pelanggan, maka organisasi mempunyai peranan kelangsungan hidup organisasi yang lebih baik.
Karakteristik lainnya, pemimpin tersebut mampu mengembangkan iklim organisasi di dalam organisasi yang dipimpinnya, antara lain sebagian besar anggota organisasi sangat menghayati nilai-nilai, norma-norma organisasi, kesepakatan terhadap strukturisasi dan aturan permainan yang telah mereka buat, masing-masing karyawan berkarya secara bebas, independen di bidangnya namun sekaligus juga merasa saling bergantung (interdependensi) antara yang satu dan lainnya. Pemimpin tersebut mampu membangun kelompok kerja yang dinamis. la adalah pemimpin yang bergaya eksekutif ataupun pengembang (developer).
Dengan karakteristik organisasi yang dibangun oleh pemimpin yang mempunyai gaya tersebut, maka organisasi tersebut dikatakan sebagai organisasi yang mempunyai budaya kuat. Sebaliknya, budaya organisasi yang lemah dapat dilihat dari adanya kerawanan terhadap perpecahan, timbulnya kecurigaan dan saling tidak percaya antara anggota satu dan lain-nya, lemahnya inisiatif dan disiplin pribadi, semakin tinggi sistem pengawasan yang ketat, menurunnya semangat dan motivasi kerja.
Menurut Kotter dan Heskett (1982), budaya organisasi yang sakit tersebut sangat potensial merusak prestasi secara keseluruhan, karena (1) organisasi tersebut tidak melakukan apa-apa untuk mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan; (2) manajernya cenderung bersifat angkuh (arogant), merasa serba tahu dan mengabaikan informasi yang relevan bagi kepentingan organisasi, dan ingin mempertahankan strategi dan praktek kemapanan yang sudah usang; dan (3) perilaku pemimpin yang sering menghargai pelanggan (konsumen) dan anggota yang bekerja bersamanya.
LANDASAN TEORI
A. Budaya Organisasi
Secara umum, budaya mempunyai banyak arti, penekanan, dan konotasi. Kita sering sulit mendefinisikan apa sesungguhnya arti budaya tersebut secara konkrit, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan budaya organisasi. Banyak gagasan yang berbeda dalam membuat definisi tentang budaya organisasi.
Budaya itu sendiri, adalah tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar manusia dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok (Andre Hardjana, 1994: 3-4). Budaya ini memainkan peranan penting dalam pembentukan system kepercayaan, nilai dan sikap, yang dapat mempengaruhi pembentukan persepsi manusia. Dengan kata lain, manusia dibesarkan dan belajar memahami lingkungannya dalam suatu budaya tertentu. Cara manusia berperilaku, cara manusia hidup, dan cara mereka berkomunikasi, merupakan respons dan fungsi budayanya. Seluruh perbendaharaan perilaku manusia bergantung pada budaya tempat mereka dibesarkan.
Manusia mempelajari nilai-nilai budaya melalui internalisasi atau penghayatan yang berlangsung selama masa-masa pertumbuhannya sejak pradewasa, dari lingkungan kecilnya (keluarga) dan lingkungan yang lebih besar (masyarakat).
Menurut Edgar H. Schein (1992: 16), budaya organisasi, adalah:
A pattern of shared basic assumtions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems (sebuah kelompok yang saling memberi untuk menunjukkan saling adanya upaya memecahkan permasalahan dari dalam dan penyusaian diri keluar dari orang-orang baru sebagai cara menyatukan persepsi, pemikiran dan persamaan menuju yang benar atas permasalahan yang muncul).

Dengan demikian, manusia yang dalam kehidupannya dipengaruhi oleh budaya masyarakatnya, ketika memasuki organisasi, ia harus mempelajari seperangkat nilai, kepercayaan dan norma kelayakan yang berlaku di dalam organisasi tersebut. Pelajaran ini, menurut Schein akan diajarkan oleh seniornya sebagai sesuatu yang benar dan dapat memecahkan masalah-masalah organisasi. Dalam hal ini, budaya organisasi dipahami sebagai nilai-nilai dan praktek-praktek yang dibagi bersama pada semua anggota dan kelompok di dalam organisasi.
Dan hal lain yang penting adalah kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang, yang menjadi pola perilaku, untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam organisasi akan cenderung menjadi suatu bagian budaya dalam organisasi tersebut.
Gagasan-gagasan yang melekat dalam suatu budaya dapat saja berasal dari mana-mana, baik secara bawah-atas (bottom-up), atau dari atas ke bawah (top-down). Kekuatan budaya organisasi ditentukan oleh kedalaman penghayatan nilai-nilai inti, kejelasan pengaturannya, dan keluasan penyebarannya dikalangan segenap anggota. Semakin banyak jumlah anggota yang menerima dan menghayati nilai-nilai inti, menyepakati makna dan kepentingannya, dan semakin besar komitmen para anggota terhadap nilai-nilai tersebut maka akan semakin kuat pula budaya organisasi tersebut (Andre Hardjana, 1994: 9). Sebuah organisasi yang dewasa, yang memiliki keangotaan yang stabil, dan menanamkan nilai-nilai inti secara mendalam dikalangan para anggota akan memiliki sebuah budaya yang kuat. Dengan kriteria tersebut dibedakan adanya budaya kuat dan budaya lemah. Kebudayaan kuat akan terkait pada efektivitas organisasi dan bercirikan inovatif (pembaruan-pembaruan). Budaya kuat tersebut memberikan kejelasan perilaku yang harus ditempuh dan memberikan identitas plus keterlibatan yang lebih besar ke dalam organisasi.
Dalam organisasi yang memiliki budaya kuat, gagasan-gagasan tersebut biasanya berasal dari para pemimpinnya, baik founders maupun leaders, atau para pahlawan organisasi (heroes). Mereka adalah orang-orang yang mengartikulasikan budaya sebagai suatu visi, strategi bisnis, dan filosofi, serta mengarahkan gagasannya ke arah tujuan-tujuan organisasi.
Hal-hal di atas dapat dilihat dalam pola sebagai berikut: 1. Manajemen Atas. Para manajer tingkat atas, dalam level mana saja, mengembangkan dan berusaha mewujudkan dan melaksanakan suatu visi, filosofi, dan atau strategi bisnis. 2. Perilaku Keorganisasian. Pelaksanaan kerja, yaitu orang-orang yang melakukan cara-cara bekerja yang dituntun oleh filosofi dan strategi. .3. Hasil-hasil. Proses keberhasilan perusahaan yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. 4. Budaya. Suatu budaya muncul mencerminkan visi dan strategi, serta pengalaman orang-orang yang melaksanakan visi dan strategi. Biasanya, nilai-nilai dasar yang dimaksudkan untuk menjelaskan nilai-nilai yang berada pada level yang dalam disebut dengan basic assumtions, karena biasanya ada begitu saja (taken-for-granted).
B. Ciri-ciri Organisasi Unggul
Menurut Peters dan Waterman (1982) organisasi unggul yang ber-prestasi bekerja keras untuk membuat segala sesuatunya menjadi sederhana. Organisasi tersebut mengandalkan struktur yang sederhana, strategi sederhana, tujuan sederhana, dan pola komunikasi yang sederhana pula. Peters dan Waterman (1982: 13-17) menyebutkan ada delapan atribut yang menjadi ciri budaya organisasi unggul, yaitu: 1) adanya kecenderungan ke arah tindakan yang cepat dan tepat (abias for action); 2) mau mendengarkan keinginan pelanggan dan mau belajar dari pelanggan (cose to the customer); 3) pimpinan dan karyawan mempunyai jiwa mandiri dan wiraswasta yang inovatif (autonomy and entrepreneurship); 4) produktivitas melalui penghargaan manusiawi, dekat dengan karyawan, dan memperlakukan karyawan sebagai individu yang dewasa (productivity through people); 5) tetap berorientasi pada mutu (hands-on, value driven); 6) tetap pada bisnis kunci yang telah ditekuni dan berhasil (stick to the knitting); 7) dengan bentuk organisasi yang sederhana dan ramping (simple form, lean staff); dan yang terakhir 8) menjaga nilai-nilai inti dan mengembangkan inisiatif pribadi dalam pengendalian yang ketat sekaligus longgar (simultaneous loose-tight propeties).
C. Managing By Wandering Around
1. Gaya Kepemimpinan Baru
Kemudian, bersama Nancy Austin, Peters (1983) mengatakan bahwa agar organisasi memiliki delapan ciri seperti di atas, maka diperlukan suatu kepe-mimpinan baru, yang disebut MBWA atau Managing By Wandering Around, artinya pemimpin tersebut tidak boleh duduk di belakang meja saja, akan tetapi ia harus melakukan "perjalanan" di dalam organisasi yang dipimpinnya. la harus mempunyai keinginan besar untuk mengetahui apa yang diharapkan oleh bawahannya dan ia mampu bekerja sama dengan orang-orangnya (pegawainya) dan memperhatikan usaha-usaha memacu para pegawai mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik (care of people). Selain itu, kepemimpinan ini haruslah yang sangat memperhatikan keinginan pelanggan, ia harus mau belajar dari pelanggannya (care of customers).
Dan terakhir kepemimpinan yang selalu memperhatikan arti penting adanya inovasi-inovasi yang melingkupi pelbagai kegiatan di dalam organisasi (constant innovations). Ketiga gaya kepemimpinan tersebut akan mampu menjadi faktor yang kondusif ke arah pembentukan budaya organisasi kuat.
Kepemimpinan di sini diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar orang lain tersebut mau mengikuti keinginan pemimpin tersebut.

2. Gaya Kepemimpinan Eksekutif dan Developer
Dari teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh WJ Reddin, ada delapan gaya kepemimpinan, yaitu yang empat gaya dikatakan sebagai gaya yang efektif, dan empat gaya lagi dikatakan sebagai gaya yang tidak efektif. Teori Reddin ini bertitik tolak kepada tiga dimensi gaya kepemimpinan yang didasarkan kepada dimensi hubungan dengan manusia (Orientasi Hubungan), dimensi tugas (Orientasi Tugas), dan dimensi keefektivan.
Empat gaya yang efektif, adalah gaya eksekutif, gaya developer, gaya birokrat, dan gaya otokrasi bijak. Gaya eksekutif merupakan gaya yang paling efektif karena pemimpin tersebut mampu mengadakan hubungan kerja yang baik dengan karyawannya dan mampu menetapkan standar kerja (tugas) yang tinggi. la berhasil membangun tim kerja yang baik. Gaya pengembang (developer) mampu mengembangkan hubungan kerja dengan orang-orang, namun kurang mampu mencapai penyelesaian tugas secara baik. la sangat mempercayai karyawannya dan memperhatikan pengembangannya. Gaya birokrat, adalah gaya yang menitikberatkan kepada aturan permainan yang telah disepakati. Di luar ketentuan-ketentuan yang berlaku, ia tidak mau mengambil kebijaksanaan. la mau melakukan kontrol secara teliti. Meskipun ia memperhatikan secara minimum tentang hubungan kerja dan tugas, ia masih dikelompokkan gaya yang efektif. Sedangkan otokrasi bijak, merupakan gaya yang sangat mendekatkan diri kepada penyelesaian tugas, dan sebagian kecil hubungan kerja. Akan tetapi, otokrasi bijak ini masih mengetahui secara tepat apa yang ia inginkan dan bagaimana memperoleh keinginan tersebut. Ia mampu mengarahkan orang-orang yang termasuk teori 'X'-nya Me Gregor.
Empat gaya kepemimpinan yang tidak efektif, adalah otokrasi, misionari, kompromiser, dan lari dari tugas (deserter). Otokrat sangat memperhatikan penyelesaian tugas dan minimum pada hubungan kerja. la tidak mempercayai orang-orangnya, dan hanya tertarik kepada jenis pekerjaan yang lekas selesai saja. Gaya misionari sangat menekankan kepada hubungan kerja, memberikan perhatian yang kecil kepada tugas. la merupakan pemimpin yang jelek dalam membuat keputusan. Gaya kompromiser, adalah gaya yang memperhatikan kepada tugas dan hubungan kerja dalam situasi kompromi. la juga pembuat keputusan yang jelek. The deserter, adalah gaya yang sama sekali tidak memperhatikan pada tugas dan hubungan kerja, sangat pasif dan tidak mau ikut campur dalam menghadapi tugas-tugas organisasi. la lari dari tugas.
Untuk mengenalkan budaya organisasi yang kuat dengan ciri-ciri yang inovatif, maka diperlukan kepemimpinan dengan gaya eksekutif dan pengembang.
ANALISIS
Dari definisi yang disampaikan oleh Edgar Schein di atas, dapat dikatakan bahwa budaya organisasi merupakan hasil proses belajar, dihayati oleh segenap anggota organisasi, mempunyai pola dan bersifat adaptif. Definisi di atas juga mengasumsikan bahwa di dalam setiap organisasi ada suatu budaya sebagai suatu system makna yang sama-sama (shared) dihayati oleh anggotanya. Melalui penghayatan bersama tersebut terbentuklah kesamaan faham mengenai apa organisasinya dan bagaimana mereka berperilaku.
Dalam praktek, budaya organisasi akan terbentuk lebih nyata, dapat diamati, dirasakan, dialami dan dipahami oleh para anggota organisasi. Menurut Andre Hardjana (1994: 7-8) bentuk-bentuk budaya organisasi, antara lain:
1. Keteraturan perilaku: para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain menggunakan bahasa dan tata cara yang berlaku.
2. Norma-norma: standar dan ketentuan perilaku, termasuk petunjuk tentang pekerjaan yang harus diselesaikan.
3. Nilai-nilai baku: yang meliputi nilai-nilai penting yang akan ditanamkan, dibangun dan diresapi bersama oleh para anggota, misalnya kualitas pelayanan, mutu produk dan efisiensi.
4. Filsafat: kebijakan-kebijakan yang mencerminkan kepercayaan organisasi mengenai cara memperlakukan karyawan dan konsumen.
5. Peraturan-peraturan: petunjuk mengenai cara bergaul dengan orgarusasi (apa yang diharapkan anggota dari organisasinya).
6. Iklim organisasi: perasaan secara keseluruhan terhadap tatanan fisik, cara berinteraksi antar anggota, dan pola bertindak terhadap orang luar. Namun, bagaimanakah budaya organisasi yang kuat dan positif tersebut dapat dicapai?
Dikatakan bahwa budaya organisasi yang kuat dengan delapan ciri sebagaimana tersebut di atas, diawali dari pimpinan puncaknya. Pimpinan adalah pihak yang mengartikulasikan budaya sebagai suatu visi, strategi bisnis, filosofi, dan mengarahkan gagasannya ke arah pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Tentunya pimpinan yang mampu mengartikulasikan budaya tersebut menjadi hasil-hasil nyata organisasi, adalah pimpinan yang mempunyai visi dan filosofi ke masa depan dan yang sangat memperhatikan hubungan kerja dan pencapaian tugas yang tinggi. Pimpinan yang demikian ini dipunyai oleh pimpinan yang mempunyai gaya kepemimpinan baru, yaitu MBWA dan empat gaya kepemimpinan efektif seperti yang dikemukakan oleh Peters dan Austin, serta WJ Reddin.
Apabila pimpinan mempunyai gaya seperti di atas, yang sangat antusias, yang sangat mempunyai visi dan filosofi ke masa depan, maka akan dapat membentuk budaya organisasi yang kuat, yang memberikan hasil dan prestasi/kinerja organisasi yang baik. Sebaliknya, bila organisasi dipimpin oleh orang-orang yang tidak dipacu untuk berprestasi sebagaimana tersebut dalam empat gaya kepemimpinan yang tidak efektif, yang tidak memahami kedelapan ciri organisasi unggul, dan hanya duduk di belakang meja saja, tidak mengadakan "perjalanan" keliling, maka organisasi yang dipimpinnya akan menjadi sakit dan mempunyai budaya organisasi yang lemah, yang tidak memperhatikan pencapaian kinerja tinggi.
Kembali kepada budaya organisasi yang kuat, bahwa kekuatan budaya organisasi terletak kepada konsistensi yang tinggi dalam jangka waktu yang lama mengenai penerapan nilai-nilai yang dianggap penting oleh organisasi sehingga terbentuk keseragaman perilaku organisasi dan dikenal sebagai budaya organisasi. Organisasi yang mempunyai budaya kuat ditandai oleh konsistensi, bukan saja antara nilai-nilai yang dianggap penting dengan sistem dan prosedur yang berlaku dalam perusahaan, tetapi terutama adalah konsistensi tinggi antara nilai- nilai tersebut dan perilaku manajemen organisasi yang bersangkutan.
Budaya organisasi yang kuat dibutuhkan untuk membuat kelompok dalam organisasi menjadi kompak, bersatu dan searah geraknya. Menurut Andre Hardjana (1994:9), kuat lemahnya budaya organisasi dapat dilihat dari adanya tiga kriteria yang saling berhubungan dan saling memperkokoh, yaitu:
1. Arah. Apakah nilai-nilai yang hidup searah atau selaras atau mendukung tujuan-tujuan organisasi.
2. Penyebaran: Apakah nilai-nilai budaya tersebut dihayati dan dimiliki oleh semua anggota dalam organisasi, atau hanya oleh sekelompok kecil manajer di tingkat puncak.
3. Intensitas: Apakah pengaruh budaya memberi tekanan yang kuat pada anggota organisasi hingga ditaati atau tidak.
Bila arahnya selaras, penyebarannya luas, dan intensitasnya tinggi, maka budaya organisasi tersebut adalah kuat. Budaya organisasi yang kuat, unggul dan adaptif terhadap perubahan dapat dicapai oleh adanya kepemimpinan yang antusias untuk memperjuangkan nilai-nilai inti organisasi, karena pemimpin yang demikian diharapkan menjadi perintis dan pencetus visi dan misi organisasi, dan sekaligus penggerak budaya organisasi. Pemimpin juga merupakan penentu dalam proses sosialisasi para anggotanya, terutama yang baru, menciptakan iklim kerja yang dapat membangkitkan komitmen karyawan, dan iklim komunikasi yang dapat membangkitkan kepuasan, dan pemimpin juga adalah penyusun kebijakan, kebijaksanaan, dan strategi organisasi.
Jadi, terbentuknya budaya organisasi yang kuat dan adaptif akan sangat tergantung kepada kepemimpinan dengan komitmen tinggi terhadap efektivitas organisasinya dan konsistensinya dalam menerjemahkan dan melaksanakan inti, kepercayaan, dan norma-norma menjadi tujuan yang nyata dengan sistem kerja dan pelaksanaan yang jelas.


IMPLIKASI TEORITIS DAN PRAKTIS
Implikasi-implikasi yang terkandung dalam uraian-uraian di atas, adalah bahwa untuk mendorong seluruh anggota organisasi agar mau mempunyai budaya organisasi yang kuat dan positif, maka diperlukan pemimpin atau manajer yang mempunyai kemauan kuat untuk melaksanakan perbaikan-perbaikan, sebagai berikut:
Pertama, meningkatkan semangat dan motivasi kerja yang mungkin selama ini sangat menurun. Hal yang nyata, memperbaiki bentuk-bentuk motivasi eksternal, yaitu imbalan-imbalan ekstrinsik yang mereka rasakan kurang merata, dan imbalan instrinsik berupa terpenuhinya harapan terhadap karier, kepuasan kerja, pendidikan lanjut, penghargaan terhadap prestasi, dan lain-lain.
Titik tolak pemberian motivasi dalam bentuk di atas, adalah adanya kebutuhan dasar manusia di dalam organisasi, yaitu (1) kebutuhan untuk mempunyai makna, artinya mereka akan merasa puas bila mempunyai peran yang berarti, betapapun kecilnya, dalam memperkuat etos kerja organisasi; (2) kebutuhan untuk tidak menerima pengawasan ketat, artinya mereka ingin diperlakukan sebagai manusia dewasa, manusia yang mampu mengembangkan kreativitasnya dengan baik; (3) kebutuhan memperoleh penguatan positif, antara lain dalam bentuk penghargaan dan perasaan memiliki organisasi di mana la bekerja; dan (4) tingkat kegiatan dan perilaku yang terjadi membentuk sikap dan kepercayaan, bukan sebaliknya, artinya adanya kegiatan dan perilaku positif akan mempertebal rasa tanggung jawab terhadap organisasi.
Kedua, yang perlu diperhatikan oleh pimpinan adalah menerapkan fungsi-fungsi utama pimpinan, yaitu (1) memberikan dasar bagi usaha yang kooperatif dan mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem kegiatan kooperatif yang berorientasi kepada tujuan-tujuan pribadi dan organisasi; (2) merumuskan sasaran dan mencari sumber dana dan daya yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan; dan (3) menekankan komunikasi sebagai proses untuk memperoleh kooperasi yang diinginkan (Chester I Barnard, 1938). Nilai-nilai dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan perlu dilaksanakan dengan perbuatan-perbuatan nyata. Hal ini perlu agar tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif melalui kesepakatan dan dukungan semua pihak, yaitu kelompok pimpinan dan bawahan.
Ketiga, ada beberapa faktor pembentukan budaya organisasi kuat dan adaptif pada perubahan lingkungan, yaitu (1) kesesuaian antara budaya masyarakat dan budaya organisasi, artinya budaya masyarakat akan dibawa oleh anggotanya ketika ia memasuki organisasi, sehingga "warna" budaya organisasi akan mirip dengan budaya masyarakat dari mana anggotanya berasal; (2) dalam tingkat organisasi, pimpinan sangat menentukan, karena ia adalah pencetus visi dan misi organisasi, ia adalah sumber penggerak budaya, dan menunjukkan apa nilai inti organisasi dan bagaimana memperjuangkan nilai-nilai inti tersebut. Pimpinan juga sangat menentukan proses sosialisasi antar anggota, menciptakan iklim kerja yang kondusif untuk membangkitkan komitmen anggota, dan menentukan iklim komunikasi yang dapat membangkitkan kepuasan, penyusunan kebijakan dan strategi; (3) sejarah dan tradisi organisasi yang semula "excellence" harus tetap dijaga dan dilestarikan keunggulannya tersebut; dan (4) memperhitungkan faktor-faktor perubahan lingkungan organisasi, baik internal maupun ekstemal.
Keempat, membangun dukungan terhadap perubahan yang akan dilakukan oleh pimpinan baru dengan tujuan agar organisasi dapat dioperasikan lebih efektif dan efisien. Perubahan-perubahan ini seringkali memperoleh penolakan dari para anggota, lebih-lebih oleh mereka yang merasakan kegiatan rutin sebagai kemapanan. Dukungan ini perlu dibangun sebelum, selama dan sesudah dilaksanakan perubahan.
Menurut Davis & Newstrom (1985) kegiatan-kegiatan untuk membangun dukungan tersebut, antara lain:
1) Kepemimpinan untuk perubahan. Perubahan yang dilakukan didasarkan kepada kepentingan bersama dan organisasi, bukan kepentingan pribadi. Perubahan ini seyogyanya sesuai dengan tujuan dan peraturan organisasi yang telah ada.
2) Memanfaatkan kekuatan kelompok. Kelompok merupakan kekuatan yang penting yang dapat digunakan untuk menekan anggota untuk suatu perubahan. Perubahan kekuatan kelompok akan menimbulkan perubahan perilaku anggotanya, karena biasanya perilaku individu ini tertanam kuat dalam kelompoknya.
3) Partisipasi. Faktor ini sangat penting sebagai pendorong dan pembangun dukungan terhadap perubahan. Partisipasi akan menimbulkan keikatan/komitmen, sehingga meningkatkan motivasi bagi para anggota organisasi untuk mendukung perubahan. Partisipasi ini perlu dibina sebelum terjadi perubahan, bukan sesudahnya.
4) Imbalan bersama. Perlu adanya imbalan yang cukup bagi para anggota yang dapat diharapkannya dari adanya perubahan. Mereka harus yakin bahwa perubahan akan memberikan kegunaan baginya.
5) Rasa aman pegawai. Selama perubahan diharapkan ada rasa aman oleh para anggotanya. Jaminan pengembangan kemampuan mereka, kesempatan maju, dan lain-lain perlu disampaikan.
6) Komunikasi. Melalui komunikasi maka para anggota akan tahu bahwa perubahan akan dapat mempertahankan kerja sama kelompok, dan menimbulkan rasa aman.
7) Bekerja sama dengan sistem menyeluruh. Hal ini penting untuk membantu para anggota menyadari adanya kebutuhan perubahan. Perubahan dilakukan secara evolusioner, berangsung-angsur. Perlu juga mengantisipasi dampak negatif terhadap perubahan, memperhatikan kebutuhan manusia dan mendiagnosis masalah yang mungkin timbul sekaligus menyediakan cara mengatasinya.
KESIMPULAN
Bahwa pergantian pimpinan dalam suatu organisasi merupakan factor yang krusial dan menentukan bagi "status" dan "wama" organisasi. Hal tersebut karena adanya peranan yang strategis dalam meningkatkan komitmen seluruh jajaran organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Hal ini dapat tercapai bila pimpinan mau mendorong seluruh anggota organisasi untuk melaksanakan nilai-nilai inti organisasi, membina dan meningkatkan saling percaya di antara para anggota, mendorong tumbuh-kembang rasa memiliki, rasa tanggung jawab, dan mau melakukan mawas diri terhadap seluruh kegiatannya. Perasaan satu kesatuan dalam persatuan yang kokoh, dalam kelompok-kelompok yang dinamis melalui sikap-sikap independensi dan interdependensi.
Apabila ada rencana-rencana perubahan, maka perubahan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan tersebut perlu dijelaskan kepada seluruh anggota. Hal ini akan menyadarkan mereka tentang arti penting perubahan, yang akhirnya akan membentuk dukungan dan komitmen yang kuat dari para anggotanya.

DAFTAR PUSTAKA
Barnard, Chester I (1938). The Functions of the @xecu(we,Cambridge. Mass, Harvard University.
Cohen, William A & Cohen, Nurit (1994), "The Paranoid Organization" dalam 20 World Executive's Digest.
Daws, Keith & Newstrom, John W (1985), Human BenaworAt. Work: Organizational Behavior7th Edition, New York: McGraw-Hill, Inc.
Hardjana, Andre A (1994), Budaya Organisasi: Sebuab Kerangka Pemahaman, Jakarta: BPIS.
Kotter, John P & Heskett, James L (1992), Corporate Culture and Performance, New York- ThFree Press.
Petere Thomas J & Waterman Jr, Robert H (1982), In Search of Excellence, New Yoric Harper
Peters, Thomas J & Austin, Nancy (1983), A Passion for fence, New Yoric Harper & Row.


PEMIKIRAN POLITIK SYI'AH

(Analisis Kritis Tentang Konsep Imamah)
Oleh: Ismail Fahmi Arrauf, MA


Abstract
Syi’ah is the second largest denomination of Islam, after Sunni Islam. Similar to other schools of thought in Islam. In contrast to other schools of thought, Syi’ah holds that Muhammad's family, the Ahl al-Bayt ("the People of the House"), and certain individuals among his descendants, who are known as Imams, have special spiritual and political rule over the community. The Syi’ah faith is vast and inclusive of many different groups. There are various Syi’ah theological beliefs, schools of jurisprudence, philosophical beliefs, and spiritual movements. Syi’ah embodies a completely independent system of religious interpretation and political authority in the Muslim world. Syi’ah is divided into three branches. The largest are the Twelver (اiṯnā ašariyya), named after their adherence to the Twelve Imams. The term Syi’ah often refers to Twelver Syi’ah only. Other smaller branches include the Ismaili and Zaidi, who dispute the Twelver lineage of Imams and beliefs.

Key Words: Political Thought of Syi’ah, The Twelver Syi’ah, Imamat

1. Pendahuluan
Sejak masa awalnya, ajaran Syi'ah yang kental dan mendasar adalah masalah kepemimpinan (Imamah) Ajaran inilah yang mempersatukan kaum Syi'ah dan membedakannya dengan aliran politik Islam lainnya Kendati demikian, dalam perkembangan selanjutnya, ajaran ini pulalah yang menjadikan Syi'ah terpecah-pecah menjadi sejumlah aliran atau golongan selain ajaran dasar lainnya Setelah Ali wafat, orang-orang Syi'ah tidak mempunyai sikap yang sama dalam menempatkan posisi keturunan Ali sebagai Imam Di antara banyaknya aliran-aliran Syi'ah yang muncul ada beberapa aliran besar yang akan dipaparkan di sini, dalam upaya mengenal konsep Imamah serta ajaran-ajaran Syi'ah lainnya
Tulisan ini akan memaparkan konsep tentang Imamah dalam bidang politik Syi'ah, Imamah sebagai landasan dalam Wilâyat al-Faqîh, konsep tentang Ishmah, al-Mahdi (al-Raj'ah) dan tentang Taqiyyah Syi'ah yang dibicarakan disini adalah Syi'ah Itsna Asyariyah yang nota bene kelompok mayoritas yang meyakini bahwa setelah Rasulullah wafat, umat Islam hanya dipimpin oleh 12 Imam
2. Latar Belakang Munculnya Syi'ah Imamiyah Itsna Asyariyah
Pada umumnya aliran-aliran Syi'ah yang ada sekarang di dunia Islam seperti Iran, Irak, Pakistan, dan negara-negara lain, adalah golongan yang membawa nama Syi'ah Imamiyah
Syi'ah Itsna Asyariyah juga dikenal sebagai Syi'ah Imamiyah, yang mengakui eksistensi 12 orang Imam yang berhak memimpin seluruh masyarakat muslim Ke-12 Imam tersebut dimulai dari Ali bin Abi Thalib (w 40H) sebagai penerima wasiat dari Nabi SAW melalui nash Para penerima wasiat (al-Awsiyah) setelah Ali adalah keturunan Fatimah yaitu Hasan bin Ali (w 50 H), Husein bin Ali (w 61 H), kemudian berturut-turut Ali Zainal Abidin bin al-Husain (w 95 H), Muhammad al-Baqir bin Ali (w 114 H), Ja'far al-Shadiq bin Muhammad (w 148 H), Musa al-Kazhim bin Ja'far (w 183 H), Ali ar-Ridha bin Musa (w 203 H), Muhammad al-Jawwar bin Ali (w 220 H), Ali al-Hadi bin Muhammad (w 254 H), Al-Hasan al-Askari bin Ali (w 260 H), dan anaknya Muhammad al-Mahdi bin al-Hasan sebagai Imam yang ke-12 Imam yang terakhir ini lahir pada tahun 256 hijrah, diyakini mengalami masa kegaiban kecil pada 256 hijrah, dan disusul dengan kegaiban besar pada tahun 329 hijrah (bersembunyi pada tahun 256 H) Selama masa kegaiban kecil, 4 orang wakil khusus secara berturut-turut menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kaum Syi'ah dan menyelesaikan seluruh permasalahan mereka Setelah itu sang Imam mengalami kegaiban besar, hingga suatu waktu atas perintah Tuhan ia akan muncul kembali untuk memimpin dunia ini dengan keadilan
Menurut Syalabi, Syi'ah Imamiyah terbentuk sesudah pertengahan abad ke-3 hijrah, yakni setelah lahirnya Imam-Imam yang berjumlah 12 itu Perkembangannya yang terpenting setidaknya terjadi pada dua masa Pertama, adalah ketika kekhalifahan Abbasiyah berada di bawah kendali Dinasti Buwaihi Masa ini bermula dari tahun 932-1062 M dan aliran ini dianut oleh para penguasa Buwaihi sebagai paham keagamaan mereka Kedua, ketika Syah Ismail menjadikan aliran ini sebagai paham resmi negara Persia baru yang didirikannya pada tahun 1502 M Ini terus berlangsung sampai sekarang, di mana Imamiyah (Itsna Asyariyah) tetap merupakan mazhab resmi Republik Islam Iran
3. Konsep Imamah Bagi Syi'ah Itsna Asyariyah
Menurut paham Imamiyah (Itsna Asyariyah) imamah merupakan salah satu Arkân al- Iman mereka yang lima yaitu at-Tauhid, al-Adl, an-Nubuwwah, al-Imâmah dan al-Ma'ad Dan dalam salah satu buku pegangan mereka yaitu al-Kâfi, disebutkan bahwa setiap orang yang tidak beriman kepada Imam dua belas maka dia adalah kafir, sekalipun dia adalah keturunan Ali dan Fathimah Menurut mereka lagi, Allah wajib menetapkan Imam untuk memimpin hamba-hamba-Nya Begitu pula Rasul, ia wajib menunjuk orang yang akan menggantikannya sebagai Imam Sehingga karena hal itu adalah urusan Allah, maka tidak ada urusan manusia dalam penentuan iradah Tuhan Dan berdasarkan ini mereka menolak keberadaan Khalifah Abu bakar, Umar dan Usman Kemudian ucapan para Imam itu setara dengan sabda Nabi Perbedaannya hanya pada keadaan Nabi yang menerima wahyu sedang para Imam tidak Kemudian seluruh umat Islam wajib mematuhi dan membantu Islam dalam melaksanakan Imamah ini, sebab Imam adalah pemimpin yang menjalankan otoritas ilâhiyah dan an-Nubuwwah Kemudian bagi mereka Imam memiliki sifat ma'sum (suci) tidak mungkin salah ataupun berdosa Imam adalah orang yang memiliki pengetahun yang tidak terbatas sebab langsung menerimanya dari Tuhan melalui ilham dengan perantaraan ruh qudus Bagi mereka Imam mereka yang ke-12 yang bersembunyi di Sardab diyakini masih hidup dan tidak akan mati sampai ia memimpin Syi'ah untuk menegakkan keadilan, dialah Al-Mahdi al-Muntazhar yang dinantikan kemunculannya
Dalam aqidah Syi'ah pada umumnya, Imam bukanlah manusia biasa Imam pada hakikatnya dijadikan dari nur yang diciptakan sebelum adanya alam ini Dalam suatu hadis yang dinisbahkan kepada Sayyidina Ali bahwa Nabi bersabda yang artinya:

Saya dan Ali adalah nur dalam diri Adam, lalu kami berpindah kedalam sulbi-sulbi yang suci dan rahim-rahim yang bersih hingga akhirnya kami berada dalam sulbi Abdul Muthalib Kemudian kami berpecah dua: satu bagian berpindah kepada Abdullah dan satu bagian lagi berpindah kepada Abu Thalib (Dari Abdullah turun kepada Nabi dan dari Abu Thalib turun kepada Ali) Inilah yang dimaksud oleh firman Allah dalam QS al-Furqan:54: Dan Dia (Allah) yang telah menjadikan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu berketurunan dan berkeluarga dan adalah Tuhanmu Maha berkuasa


Dengan demikian kedudukan Imam sebagai pengganti Nabi menduduki martabat yang setingkat dengan Nabi Dalam setiap zaman haruslah ada orang yang membimbing umat kejalan yang lurus agar mereka tidak sesat dalam kehidupan dan memperoleh kehidupan di dunia dan di akhirat Orang tersebut adalah merupakan pewaris Nabi dalam berdakwah Imam memiliki wilayah umum atas manusia bagi mengatur urusan dan kemaslahatan mereka, menegakkan keadilan serta menghilangkan kezaliman dan persengkataan sesama mereka
Dalam kaitan dengan syari'at, peranan Imam tidak hanya sebagai pelaksana dan penegak ajaran dan hukum agama, bahkan juga sebagai orang yang menyempurnakan syari'at, menafsirkan dan menyampaikan kepada manusia apa yang telah diserahkan kepada mereka
Beberapa ajaran mereka lainnya adalah sebagai berikut:
a. Sifat Tuhan
Allah SWT Esa dalam sifat dan zat-Nya tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya
b. Al-'Adl
Mereka memberi makna keadilan Tuhan dengan pengertian menafikan Tuhan berbuat zalim Dia wajib memberi pahala bagi orang-orang yang taat dan memberi siksa bagi orang-orang yang berbuat dosa Dia tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak disanggupi dan tidak menyiksa mereka melebihi dari siksa yang seharusnya mereka terima Tuhan wajib mewujudkan yang baik dan terbaik bagi hamba-Nya
c. Al-Taqiyyah
Al-Taqiyyah adalah tindakan menyembunyikan keyakinan yang benar demi kewaspadaan, yang dilakukan untuk menjaga agama yang benar dari musuh-musuh dengan menyembunyikannya dalam keadaan-keadaan dimana ada ketakutan akan dibunuh atau ditangkap atau difitnah Demi kepentingan umat, pelaksanaannya dilaksanakan sebagai suatu kewajiban Landasan hukum al-Taqiyyah adalah dalil 'aqli dan naqli Secara aqli adalah dibolehkan menolak bahaya dengan bertaqiyyah dan secara naqli dapat dilihat dalam Alquran sebagai berikut:
janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka(QS. Ali Imran: 28)

Imam Ja'far as-Shadiq menyatakan bahwa al-Taqiyyah adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Barang siapa yang tidak bertaqiyyah, maka tidak ada agama baginya

d. Ar-Raj'ah dan al-Mahdiyah
Ar-Raj'ah adalah keyakinan yang meyakini bahwa sebahagian manusia akan mengalami proses reinkarnasi atau hidup kembali kedunia setelah mereka mengalami kematian konsep ini telah ada sebelumnya dalam agama Yahudi tentang kembalinya Uzair dan Harun Dan juga dalam agama Nasrani yang menganut ajaran bahwa Nabi Isa yang dipandang anak Tuhan itu telah disalib oleh orang-orang Yahudi, tapi tidak mati dan dia bagun kembali dari kuburnya setelah tiga hari, lalu naik ke langit dan duduk di sebelah kanan Bapaknya di syurga Pada menjelang akhir zaman Dalam kalangan Syi'ah, Mereka adalah orang-orang yang menzalimi dan menganiaya para Imam dan ahlu al-Bait setelah itu baru Allah menghidupkan kembali al-Imam satu persatu dimulai dari Ali bin Abi Thalib, sampai dengan Hasan al-Asykari Namun sebelum kedatangan mereka akan muncul terlebih dahulu Imam al-Mahdi (Muhammad ibnu Hasan al-Askari) sebagai pembuka jalan bagi Raj'ahnya para Imam yang lain Raj'ah mereka ke dunia ini adalah sebagai pengganti atas hak syar'inya dalam khalifah dan dalam khilafah yang belum mereka wujudkan dalam kehidupan sebelum raj'ah
Sebagian ulama Syi'ah meyakini bahwa musuh-musuh para Imam itu seperti khalifah Abu Bakar, Umar dan Ustman dan lain-lain dari para penguasa khalifah Amawiyah dan Abbasiyah yang telah merampas hak Sayidina Ali sebagai khalifah Nabi, juga akan dikembalikan Allah ke atas bumi ini pada masa para Imam itu berkuasa untuk menerima hukuman yang setimpal dari mereka atas dosa mereka merampas hak-hak para Imam yang sah
Demikianlah paham raj'ah yang dianut dalam kalangan Syi'ah Imamiyah yang nampaknya dibuat sebagai suatu ajaran untuk memenuhi nafsu balas dendam terhadap orang-orang yang dipandang sebagai musuh mereka
Hingga masa yang belum lama lagi, Syi'ah Imamiyah tidak lagi melakukan salat Jum'at karena Imam tidak ada lagi Imam yang terakhir masih gaib Bahkan sebagian ulama mereka mengharamkan salat Jum'at hingga kembalinya Imam dari persembunyiannya Akan tetapi pada akhir-akhir ini hal yang demikian telah berubah berkat adanya fatwa para ulama yang menjelaskan bahwa tidak ada kaitannya Imam yang gaib itu dengan kewajiban salat Jum'at dan berjihad di jalan Allah Dan sekarang salat Jum'at itu telah dilaksanakan lagi seperti dahulu
e. Tafsir al-Qur'an
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-quran para ulama Syi'ah melakukannya dengan apa yang mereka sebut tafsir batini Ada ajaran yang yang bermakna hakiki sebagaimana lafadznya, ada juga yang ditakwilkan sebagai batin agama yang bertujuan untuk keilahiyan Imamah Seperti kata shalat yang bermakna sebagai shalat itu sendiri, namun dalam tafsir batin diartikan sebagai mengikuti Imam (QS 74-43) Selajutnya, hampir semua kalimat wali, wilayah dan isytiqaq lainnya dalam Al Qur'an dikaitkan dengan Imam Ali dan anak keturunannya
4. Imamah Dalam Teori Politik Syi'ah
Dalam Syi'ah Imamiyah, pemerintah adalah milik Imam saja, sebab dia berhak atas kepemimpinan politik dan otoritas keagamaan Mereka, seperti sudah disinggung, meyakini bahwa yang berhak atas otoritas spiritual dan politis dalam komunitas Islam pasca Nabi Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib beserta sebelas keturunannya Karenanya, mazhab ini dikenal sebagaimana yang telah dipaparkan diatas dengan Syi'ah dua belas
Imam terakhir, al-Mahdi, mengalami apa yang oleh umat Syi'ah Imamiyah disebut sebagai "Ghaib sempurna" pada tahun 941 M, dan diyakini akan datang kembali Oleh sebab itu menurut keyakinan Syi'ah, Imam al-Mahdi masih hidup dan masih menjadi pemegang kekuasaan yang sah Ia akan mncul kembali pada saat yang akan ditentukan oleh Tuhan Karena Imam Mahdi masih hidup maka lembaga Imamah masih hidup Jadinya perlunya keberadaan seorang pemimpin umat bagi kalangan Syi'ah lebih penting dari pada bagi kalangan Sunni Bahkan pada mazhab Syi'ah prinsip Imamah -sebagaimana telah dijelaskan diatas- adalah termasuk rukun Iman Masalah Imamah inilah yang menjadi salah satu sumber skisma dalam Islam antara sunni dan Syi'ah A Syafruddin al-Musawi mengaku bahwa tiada suatu penyebab perpecahan diantara umat Islam yang lebih hebat dari pada perbedaan pendapat yang berhubungan dengan persoalan Imamah Tiada bentrokan dalam Islam demi suatu prinsip agama yang lebih parah dari pada yang telah terjadi disekitar persoalan ini Soal Imamah menurut al-Musawi adalah penyebab utama yang secara langsung telah menimbulkan perpecahan selama ini Generasi demi generasi yang mempertengkarkan soal Imamah telah menjadi demikian gandrung dan terbiasa dengan sikap fanatik dalam kelompoknya masing-masing tanpa mau mengkaji dengan kepala dingin
Orang-orang Syi'ah seperti yang ditulis oleh Thabataba'i, memang muncul karena kritis dan protes terhadap dua masalah dasar dalam Islam kendati tidak berkeberatan dalam cara-cara keagamaan yang melalui perintah-perintah Nabi merata dikalangan kaum muslimin Dengan kata lain, tidak ada perbedaan secara prinsipil antara sunni dan syi'i Kedua masalah itu adalah berkenaan dengan pemerintahan Islam dan kewenangan dalam pengetahuan-pengetahuan keagamaan yang menurut kalangan Syi'ah menjadi hak istimewa ahli bait
Kaum Syi'ah menyatakan bahwa tidaklah masuk akal ditinjau dari sifat keadilan dan kasih sayang (luthf) Tuhan terjadi pada manusia jika ia membiarkan masalah Imamah tanpa keputusan Berbeda dengan pandangan kaum sunni, kaum Syi'ah menganggap bahwa masalah kepemimpinan umat adalah masalah yang terlalu vital untuk diserahkan begitu saja pada musyawarah manusia-manusia biasa yang bisa saja memilih orang yang salah untuk kedudukan tersebut dan karenanya bertentangan dengan tujuan wahyu ilahi
5. Imamah Sebagai Landasan Wilayat Al-Faqih
Perkembangan pemikiran Syi'ah tentang Imamah dapat dibagi dalam dua hal penting Pertama, pemikiran Syi'ah ketika para Imam mereka masih hidup Pemikiran ini lebih dititik beratkan kepada keabsahan para Imam sebagai pelanjut kepemimpinan Nabi SAW Kedua, pemikiran Syi'ah yang berlangsung setelah ghaibnya Imam al-Mahdi seperti diungkapkan Sachedine, dalam perkembangan sikap politis kaum Syi'ah tiga pengalaman mempunyai peranan yang amat besar yaitu syahadah (kesyahidan), ghaybah (kegaiban), taqiyyah (penyembunyian kebenaran demi kewaspadaan dan demi mencegah kesia-siaan)
Kegaiban terbagi dalam dua tingkatan Pertama, masa kegaiban kecil (minor occultation/Gaibah al-Sughra) yaitu ketika Imam Mahdi bersembunyi di dunia fisik dan mewakilkan kepemimpinannya kepada para wakil Imam Pada masa ini kesulitan dalam hal marja' (kepemimpinan agama dan politik) relatif bisa diatasi Karena posisi marja' "dijabat" oleh empat wakil al-Mahdi mereka adalah Abu 'Amir 'Uthman, Abu Ja'far Muhammad, Abu al-Qashim al-Husain dan Abu al-Hasan Ali Kedua, disebut sebagai masa "kegaiban besar" (mayor of cultation/Ghaibah al-Kubra) yaitu masa pasca meninggalnya keempat wakil Imam sampai kedatangan kembali al-Mahdi pada akhir zaman Pada masa "kegaiban besar" (gaib sempurna) inilah kepemimpinan yang dilanjutkan oleh para faqih Jadi jika para Imam membimbing umat setelah berakhirnya "siklus wahyu", artinya setelah wafatnya Rasul maka para faqih berkewajiban membimbing umat setelah berakhirnya "siklus Imamah", yaitu setelah tiadanya Imam dengan perbedaan, tentu saja bahwa faqih tidaklah memiliki ishmah (Unfallibility) atau atribut-atribut istimewa lainnya dari para Imam
6. Kesimpulan
Sebagai penutup dapat dinyatakan bahwa golongan Syi'ah adalah kelompok yang memperlakukan Ali secara berlebihan dan memusuhi kelompok yang memusuhinya Pada saat yang sama terdapat ide anti demokrasi yang tertuang dalam konsep Imamah Sebab Imam adalah orang yang mengetahui mana yang terbaik, sehingga bila ia ditaati, semuanya akan berjalan dengan baik, sebaliknya bila pendapat umum yang diutamakan akan terjadi suatu kesalahan Selanjutnya kelompok Syi'ah ini dapat juga disebut sebagai blok karena gagasan Imamahnya bersifat ketuhanan yang diwarisi oleh Rasulullah yang diangkat oleh Allah Oleh sebab itu mereka menggantungkan diri pada kepemimpinan kharismatik untuk memperoleh keamanan dan keselamatan Wallahu A’lam


Lampiran
Silsilah Para Imam Syiah Itsna Asyariyah

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Aziz A Sachedina, The Just Ruler (al-Shultan al-Adl) In Syi'i Islam,(Terj Ilyas hasan), Bandung: Mizan, 1991

------------------------------, Kepemimpinan Dalam Islam, Bandung: Mizan, 1991

Allamah Thabataba'i, Islam Syi'ah, Jakarta: Grafiti, 1989

Allama M Husain al-Kahful Ghita, The Origin Of Syi'ite Islam and its Pinciples: Qum Ansariyan, 1989

Ali as-Salul, Aqidah wa al-Imamah ‘Inda Syi'ah Itsna Asyariyah, (terj), Jakarta: GIP 1997

A Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta: al-Husna Zikra, 1983

M Joesoef Sou'yb, Syiah: Studi Tentang Aliran-aliran Dan Tokoh-Tokohnya, Jakarta: al-Husna Zikra

Ibrahim Madkour, Aliran Dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1996

Jalaluddin Rahmat, Islam alternatif, Bandung: Mizan, 1986

Musa al-Musawi, Meluruskan Penyimpangan Syi'ah, Jakarta: Tp 1993

Mehdi Mujaffari, Authority In Islam, From Muhammad To Khumaini, London: Mec Sarvehamid Enayat, Reaksi Politik Sunni Dan Syi'ah, Bandung: Pustaka, 1988

----------------- Mengapa Kita Menolak Syi'ah, Jakarta: Lembaga Penelitian & Pengkajian Islam, (LPPI), 1998

Jumat, 30 Oktober 2009

PELUANG DAN TANTANGAN EKONOMI ISLAM

1. Pendahuluan
Ketika menjelaskan kebuntuan ilmu ekonomi, Fritjop Capra dalam bukunya The Turning Point,Sciense, Society, and The Rising Culture, menyatakan ;…”ilmu ekonomi merupakan ilmu yang paling bergantung pada nilai dan paling normatif di antara ilmu-ilmu lainnya. Model dan teorinya akan selalu didasarkan atas nilai tertentu dan pada pandangan tentang hakekat manusia tertentu; pada seperangkat asumsi yang oleh E.F.Schumacher disebut “meta ekonomi” karena hampir tidak pernah dimasukkan secara eksplisit di dalam pemikiran ekonomi kontemporer. Ervin Laszlo dalam bukunya, 3rd Millenium, The Challenge and The Vision, mengungkapkan kekeliruan sejumlah premis ilmu ekonomi, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan sama sekali nilai-nilai dan moralitas. Menurut mereka kelemahan dan kekeliruan itulah yang antara lain menyebabkan ilmu ekonomi tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat miskin dengan negara-negara dan masyarakat kaya. Lebih lanjut, mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan tidak ada jalan lain kecuali dengan merobah paradigma dan visi, yaitu melakukan satu titik balik peradaban.”
Pemikiran kritis semacam itu sebenarnya sudah berkemvbang dikalangan tokoh dan ilmuan muslim. Bermula dari keinginan yang kuat untuk memperbaiki kondisi ekonomi ummat, sejumlah pemuka dan ilmuan muslim mencoba menemukan sistem alternatif yang betul-betul sesuai dengan perinsif syari`ah. Sistem alternatif itu dibangun dsalam suatu kerangka ilmiah dan selanjutnya direalisasikan di dalam kehidupan praktis. Sistem alternatif itulah yang selanjunya disebut ekonomi Islam. Sistem operasional lembaga-lembaga yang dibangun oleh sistem ini, seperti lembaga-lembaga keuangan syari`ah, ternyata hidup dan bersaing dengan lembaga-lembaga konvensional, bahkan terbukti lebih tahan terhadap ancaman krisis ekonomi.
Pada mulanya kehadiran ekonomi Islam, termasuk lembaga-lembaga yang dilahirkannya, pleh sebagian masyarakat disambut dengan sikap a priori dan pessimis, bahkan dalam beberapa hal ditanggapi dengan sikap sinis.Kelihatannya, sikap a priori, pessimis, dan sinis itu muncul dari kurangnya pengetahuan dan kakunya kerangka fikir yang dipergunakan dalam memahami ekonomi Islam. Karena perkembangan ekonomi Islam begitu pesat dan bersifat unik, dan karena lembaga-lembaganya juga competitiv dengan lembaga konvensional sejenis, para ilmuan dan pemerhati masalah-masalah kemanusiaan, baik muslim maupun non muslim, tertarik untuk melakukan kajian-kajian serius terhadapnya. Di antara non-Muslim yang melakukan penelitian dan kajian terhadap ekonomi Islam adalah Florence Eid, salah seorang konsultan di bank Dunia, Washington,DC, Toshikazy Hayashi, dari International University of Japan, Rodeney Wilson, J.R.Presley. Pada umumnya mereka melihat bahwa ekonomi Islam solusi bagi persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi dunia saat ini (dan pada masa yang akan datang).

2. Ekonomi Islam
Ekonomi sebagai suatu usaha mempergunakan sumber-sumber daya secara rasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesungguhnya melekat pada watak manusia. Tanpa disadari, kehidupan manusia sehari-sehari didominasi kegiatan ekonomi. Dalam bahasa Arab, ekonomi sering diterjemahkan dengan al-Iqtisad, yang berarti hemat, dengan perhitungan, juga mengandung makna rasional dan nilai secara implisit.
Konsep ekonomi dalam pengertian demikian telah ada sejak manusia memikirkan kebutuhannya, dan akan senantiasa ada dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, kajian modern tentang konsep dan prinsip-prinsip ekonomi menurut tradisi keilmuan Barat sejak Adam Smith menerbitkan bukunya The Wealth of Nations pada tahun 1770-an.
Ilmu ekonomi modern telah berusia dua abad itu telah tumbuh dan berkembang begitu jauh dan telah membuktikan dirinya sebagai ilmu yang paling banyak dipergunakan dalam mengatur kehidupan kolektif manusia emenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Namun demikian, ia tetap meminjam berbagai instrumen keilmuan dari berbagai bidang dalam melakukan penelitian dan pengukuran-pengukuran untuk seterusnya menyesuaikan dengan kebutuhannya.
Ilmu ekonomi modern dibangun di atas filsafat sekularisme dan faham liberalisme. Dengan demikian, pelaku-pelaku ekonomi dipandang mempunyai kebebasan untuk bertindak sesuai dengan kodrat manusia. Hukum-hukum, hubungan-hubungan dan aspirasi-aspirasi sosio-ekonomi dianggap berasal dari kebebasan aktivitas manusia. Pendekatan- dalam ilmu ekonomi bersifat keilmuan.
Ekonomi Islam pada hakikatnya adalah upaya pengalokasoian sumber-sumber daya untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan petunjuk Allah SWT untuk memperoleh ridha-Nya. Petunjuk Allah SWT tentang hal itu sudah ada sejak wahyu diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, sebagai kajian yang berdiri sendiri dengan menggunakan ilmu-ilmu modern, terlepas dari ilmu fikih, baru dimulai sekitar tahun 1970-an . Menurut ahli ekonomi Islam, ada tiga karakteristik yang melekat pada ekonomi Islam, yaitu :pertama, inspirasi dan petunjuknya dicari di dalam al-Qur’an dan sunnah, kedua , perspektif dan pandangan-pandangan ekonominya mempertimbangkan peradaban Islam sebagai sumber. ketiga, bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai-nilai ,prioritas dan etika ekonomi komunitas muslim pada periode awal.
Dari informasi singkat ini dengan mudah dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam mempunyai perbedaan yang mendasar dengan ekonomi konvensional (sebutan yang lazim digunakan untuk ekonomi sekuler).Perbedaan yang paling mendasar adalah pada landasan filosofinya dan asumsi-asumsinya tentang manusia. Ekonomi Islam dibangun atas empat landasan filsofis yaitu: tawhid, keadilan,(keseimbangan), kebebasan dan pertanggung jawaban.
Tawhid dalam hal ini berarti bahwa semua yang ada merupakan ciptaan dan milik Allah, dan hanya dia yang mengatur segala sesuatuya, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, perolehan rezeki dan sebagainya (rububiyyah). Manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sebagai trustee (pemegang amanah). Oleh sebab itu, manusia harus mengikuti segala ketentuan Allah dalam segala aktivitasnya, termasuk aktivitas ekonomi. Ketentuan Allah yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi juga bersifat etis dan moral (uluhiyyah). Berdasarkan ini maka asumsi terhadap manusia bersifat positif dan kegiatan ekonomi tidaklah ditujukan untuk memenuhi kepuasan manusia yang tidak terbatas.
Keadilan dan keseimbangan ditegaskan dalam banyak ayat suci al-Qur’an sbagai dasar kesejahteraan hidup manusia. Oleh sebab itu, seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan. Sistem ekonomi haruslah secara intrinsik membawa keadilan dan keseimbangan. Dalam ekonomi Islam, misalnya pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua dari satu entitas. Pada tingkat teknis, hal ini tampak pada peraktek mudarabah (lost and profit sharing) di mana pemilik modal dan pekerja ditempatkan pada posisi yang sejajar secara adil.
Kebebasan mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Tuhan yang melarangnya. Ini menunjukkan bahwa inovasi dan kreatifitas dalam ekonomi adalah suatu keharusan.
Pertanggungjawaban memiliki arti bahwa manusia sebegai pemegang amanah memikul tanggungjawab atas segala putusan-putusannya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan memilih berbagai alternatif yang ada dihadapannya. Pada gilirannya ia harus bertanggungjawab kepada Allah swt.
Keempat landasan filosofis ini selanjutnya membawa perbedaan-perbedaan lainnya pada asumsi dan hal-hal yang bersifat teknis. Dari landasan filosofis tawhid misalnya asumsi tentang manusia akan berbeda dengan asumsi ekonomi konvensional. Manusia dipandang sebagai makhluk yang pada kodratnya mempunyai kasih sayang; manusia akan merasa senang memberi bantuan terhadap orang lain (altruisme). Karena itu kebijakan ekonomi dan teknis operasional lembaga ekonomi seharusnya merangsang orang untuk menumbuhkan fitrah kebaikannya itu; bukan membiarkannya memadamkan fitrah itu. Konsep fitrah akan melahirkan sikap contributive (ta`awun dan takaful) menggantikan sikap exploitative.
Tampak bahwa hal yang paling menjadi perhatian para ahli ekonomi Islam adalah pada dimensi filosofis dan nilai. Bertolak pada dimensi filosofis dan nilai Islam mereka mencoba untuk merumuskan dimensi-dimensi teori dan teknis. Konsep kebutuhan dasar dan arah pembangunan misalnya mereka rumuskan berdasarkan maqasid al-syari`ah (tujuan-tujuan syari`ah Islam) yang ditulis oleh al-Syathibi dan juga al-Ghazali dengan tetap meminjam instrumen pengukuran dan pengujian ilmu eknomi konvensional. Demikian juga halnya dengan sistem moneter.
Karakteristik masyarakat atau lingkungan yang ingin dibangun ekonomi Islam dapat digambarakan sebagai berikut:
a. Individu-individu harus mempergunakan kekuatan dan keterampilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai tugas pengabdian kepada Allah swt. Kewirausahaan, kerja keras, siap mengambil resiko, swasembada, dan manajemen yang tepat merupakan watak yang melekat dalam kehidupan. Sikap ketergantungan kepada orang lain tidak dibenarkan kecuali bagi orang-orang yang sudah kehilangan kemampuan, seperti al-kafalah.
b. Pemerintah bertindak hanya sebagai pelindung dan fasilitator bagi kegiatan-kegiatan usaha masyarakat.
c. Tujuan umum dari kegiatan ekonomi adalah memenuhi kebutuhan material dan spritual (ridha Allah) secara bersamaan.
Secara umum dari ekonomi Islam tetap berhutang budi kepada ilmu ekonomi konvensional, karena instrumen analisis dan metode-metode keilmuannya tetap dipinjam dan disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan ekonomi Islam.
Ekonomi Islam tampaknya merupakan upaya keilmuan yang terlepas dari konteks historis ilmu ekonomi, tetapi melengkapinya dengan landasan-landasan ontologi dan aksiologi, yang sudah barang tentu dalam banyak hal membawa perbedaan dari ilmu ekonomi konvensional. Langkah mengubah landasan ontologi dan aksiologi ilmu ekonomi ini salah satunya adalah untuk “menghindari” kesalahan yang pernah dilakukan sebahagian modernis muslim, terutama dalam bidang ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi pandangan-pandangan Barat dan “mengislamkannya” tanpa bertolak dari pandangan dasar Islam sama sekali.
Ekonomi Islam tampaknya masih dalam proses membentuk diri secara lebih mandiri sebagai disiplin ilmu. Meskipun demikian, ia telah berhasil melahirkan sistem operasi lembaga ekonomi modern, seperti bank dan asuransi. Dalam peraktek, sistem operasi bank dan asuransi Islam dapat bersaing dengan lembaga serupa. Pada tingkat praksis, dampak langsung dari gagasan ekonomi Islam kepada masyarakat, terutama, masyarakat muslim, telah dirasakan turut memecahkan sebahagian persolan keterbelakangan umat. Dalam konferensi internasional tentang perbankan dan keuangan Islam yang berlangsung pada 17-18 juli 1998 di Houston, Texas, Khursid Ahmad menyatakan bahwa lembaga keuangan Islam bukan hanya teori, melainkan sebuah realitas yang tumbuh dan berkembang sangat cepat.
Satu hal yang menarik dari proses pembentukan ekonomi Islam, cara yang ditempuh adalah pendekatan ilmiah, melalui penelitian-penelitian baik penelitian pada sumber-sumber ajaran Islam, tradisi nabi dan para sahabat, khazanah pemikiran ekonomi para ilmuan terdahulu, maupun penelitian empirik terhadap kondisi dan perilaku ekonomi masyarakat Islam. Penelitian-penelitian itu dilakukan secara terbuka, dipertanggungjawabkan secara Ilmiah di forum-forum asosiasi ekonomi Islam yang dihadiri tidak saja oleh ilmuan muslim, tetapi ilmuan ekonomi lain sesuai dengan bidang minat keilmuannya. Puncak acara keilmuan dalam kurun waktu empat tahun sekali dilakukan konfrensi internasional memperbincangkan hasil-hasil penelitian dan pengujian teori-teori yang telah ditemukan. Sebagai suatu proses pengujian ilmiah sama sekali tidak ada kesan ekslusifisme di dalamnya.
Pada umumnya, ahli ekonomi Islam yang ada sekarang berasal dari sarjana ekonomi konvensional tetapi mempunyai dasar keilmuana yang memadai tentang syari`ah dan sarjana syari`ah yang membekali dirinya dengan bidang-bidang tertentu dari ilmu ekonomi.

3.Millenium ketiga, Peluang dan Tantangan
Menjelang abad 21 banyak persoalan kemanusian yang sangat menyedihkan baik pada tingkat global maupun pada tingkat nasional. Cetusan ketidakpuasan dalam bidang ekonomi, politik dan budaya terdengar semakin nyaring dari berbagai komunitas umat manusia; ketidakberdayaan sebahagian masyarakat berhadapan dengan kekuatan-kekuatan, ekonomi, politik dan budaya global tampak melalui publikasi sebahagian besar media massa. Para ilmuan dan pemerhati masalah kemanusiaan mengungkapkan kecemasan mereka melihat kemungkinan malapetaka besar yang menimpa umat manusia pada millinium ketiga. Malapetaka itu berupa proses kepunahan akibat semakin menipisnya sumber-sumber kehidupan air, tanah, dan udara yang layak, atau akibat adanya konflik kehidupan yang berkepanjangan tanpa penyelesaian yang substansial. Semua malapetaka itu berpangkal dari adanya kekeliruan pada paradigma, mitos, asumsi, dan metode berfikir tentang alam semesta, kehidupan dan ilmu pengetahuan. Kekeliruan itu menimbulkan sikap, kebijakan, langkah-langkah, dan tindakan-tindakan salah.
Kekeliruan itu antara lain adalah pandangan hidup mekanistik yang melihat dunia sebagai mesin, materialistik, fregmentaris, dan mengkesampingkan nilai-nilai spritual dan agama. Ilmu pengetahuan dibebaskan dari nilai-nilai dan moralitas. Pembinaan manusia diarahkan pada rasionalitas dan pemenuhan kebutuhan materialistiknya. Nilai-nilai ketuhanan dan moralitas dipandang sebagai subjektifitas yang dapat menghambat objektifitas dan keilmuan dan dinamika.
Dalam bidang ekonomi, disebutkan sejumlah kekeliruan itu, antara lain adalah rasionalitas yang didasarkan pada materi, kepercayaan yang berlebihan pada mekanisme pasar untuk mengatur dirinya sendiri, dan kekakuan pada perinsip efisiensi tanpa memperhatikan kebutuhan orang-orang miskin. Ini semua menyebabkan timbulnya ketidakadilan ekonomi, yang membuat gap yang semakin besar antara orang atau masyarakat miskin dan orang atau masyarakat yang kaya. Ketidakadilan yang melekat secara intrinsik dalam ilmu dan sistem ekonomi, tampaknya tidak akan dapat diatasi dengan upaya-upaya kedermawaan, apalagi mengharapkan efek otomatis dari pertumbuhan ekonomi secara makro. Menarik untuk disimak sejumlah daftar kebutuhan sistem yang diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang doihadapi umat manusia dewasa ini, yaitu antara lain:
a. Membangun kembali aspek spritual dan moral ekonomi dan memasukkannya secara intrinsik dalam ilmu ekonomi.
b. Menciptakan tata dunia baru yang adil dan tidak bersifat hegemonistik.
c. Menempatkan SDM sebagai salah satu modal dalam kegiatan ekonomi, dan peranan uang diluruskan hanya sebagai bersifat instrumental, bukan sebagai komuditas.
d. Membuat sistem distribusi kekayaan dan pendapatan yang adil pada semua tingkatan.
e. Menghidupkan ekonomi pasar dengan tanggung jawab sosial, komitmen moral dan peran positif negara untuk menjamin berlangsungnya aturan permainan.
Berdasarkan uraian tentang perlunya alternatif sistem ekonomi yang kondusif bagi kebutuhan real bagi kelangsungan hidup manusia pada masa akan datang, ekonomi Islam memiliki peluang yang besar untuk menjadi alternatif itu. Peluang ini diperkuat oleh hasil –hasil kajian positif tentang ekonomi Islam pada tingkat teoritis keilmuan yang dilakukan oleh berbagai pihak, terutama oleh keberhasilan lembaga-lembaga keuangan Islam untuk bersaing dengan lembaga-lembaga konvensional sejenis yang mampu bertahan dalam menghadapi gejolak krisis ekonomi.
Di samping itu ada tantangan yang perlu mendapat perhatian. Pertama, adalah tantangan yang bersifat “eksternal”, yaitu anggapan yang lahir dari sikap phobi terhadap Islamic term, sebagai akibat kesalahfahaman atau pengalaman historis yang keliru. Karena menyandang atribut Islam, maka ekonomi Islam dianggap bersaifat ekslusif, hanya untuk kepentingan umat Islam.Dengan begitu mengembangkan ekonomi Islam dianggap bersikap diskriminatif, tidak bersikap pluralistik, atau yang lebih parah dianggap kurang nasionalismenya.Kedua, Tantangan yang bersifat “internal” yaitu berupa kurangnya kepercayaan terhadap kemampuan ilmu dan sistem ekonomi Islam, antara lain karena kekakuan melihat perkembangan ilmu pengetahuan (tidak mampu menangkap perobahan paradigma), kejumudan (tidak mempunyai keberanian moral untuk menghargai milik sendiri), dan kemunafikan (di satu pihak ingin tetap sebagai muslim tetapi di pihak lain tidak ingin mengikuti sistemnya).
Tantangan pertama tidak hanya terdapat dikalangan non-Muslim, tetapi juga bisa muncul dari kalangan muslim. Tantangan ini bermula dari ketidaktahuan bahwa ajaran-ajaran mu`amalat, berbeda dengan ajaran-ajaran ibadat murni, Islam berlaku dan berguna untuk seluruh umat manusia (inklusif). Tantangan kedua dapat disebabkan oleh ketidaktahuan sebagaimana juga dapat disebabkan lemahnya semangat keberagamaan (mental dan keimanan).
Boleh jadi mengatasi tantangan yang disebabkan ketidaktahuan jauh lebih mudah daripada menghadapi tantangan yang disebabkan oleh lemahnya semangat keberagamaan. Untuk mengatasi kedua macam tantangan ini lembaga-lembaga pendidikan dan keilmuan sangat diharapkan melakukan kajian-kajian dan penelitian serta publikasi, disamping melakukan sosialisasi yang berkesinambungan.Perlu dikembangkan kesadaran bahwa pengembangan kajian dan penerapan ekonomi Islam adalah untuk kepentingan ekonomi (kesejahteraan dan keadilan ekonomi) semua umat manusia, sebab ilmu dan sistem itu bersifa solid pada dirinya, tidak mengandung distorsi, dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang sesungguhnya.


4.Penutup
Ekonomi Islam adalah ilmu dan sistem yang bersumber dari imperatif wahyu Allah Swt untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Paradigma, asumsi, dan teori-teorinya sangat kondusif bagi kebutuhan kelangsungan hidup manusia pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, secara potensial ia memiliki peluang yang besar untuk menjadi alternatif. Namun demikian, ada tantangan yang bersifat eksternal dan internal. Lembaga –lembaga pendidikan, kajian, ekonomi dan sosial Islam, khususnya, memikul tanggung jawab untuk mengatasi tantangan yang ada itu, dengan melakukan kajian-kajian, penelitian, publikasi dan sosialisasi yang berkelanjutan.
Akhirnya, mari kita renungkan peringatan Allah SWT pada surat Ibrahim ayat 7 yang artinya lebih kurang:…jika kamu mensyukuri ni`mat-Ku pasti akan kutambah untukmu, dan jika kamu mengingkarinya, kamu akan menerima siksaan-Ku yang sangat pedih”. Keimanan dan ajaran yang dibawa pleh Rasulullah adalah ni`mat paling besar yang telah kita terima. Mensyukuri ni`mat adalah menghargai, memelihara dan mempergunakannya sebaik mungkin. Siksa kehidupan yang paling pedih adalah keterbelakangan, ketidakberdayaan, dan kemiskinan, sehingga dalam segala aspek kehidupan tergantung kepada orang lain;tidak dapat menentukan bagi diri sendiri.
Semoga Allah Swt membimbing kita menjadi hamba-Nya yang bersyukur.
(Penulis adalah Guru Besar Fakultas Syari`ah IAIN.SU.Medan, Menyelesaikan S2 dan S3 di IAIN. Syarif Hidayatullah Jakarta)



PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA INSANI BANK SYARI`AH
H.A.Riawan Amin
Telah menjadi kesepakatan bahwa sumber daya insani-selanjutnya disingkat SDI- merupakan salah satu dari sumber daya utama lainnya, seperti aset, modal, dan teknologi yang mutlak adanya untuk mendorong pertumbuhan pembangunan.
Para eksekutif bahkan sering meminta agar rencana penambahan SDI harus diperlakukan sebagaimana rencana investasi atas mesin-mesin produksi atau perangkat kerja dengan membuat perkiraan return on investment (ROI).
Hal ini menunjukkan bahwa rencana pengembangan SDI dalam perusahaan-perusahaan telah menjadi bagian integral dari rencana strategis bisnis perusahaan.
Banyak faktor yang memperkuat betapa pentingnya rencana pengembangan SDI yang efektif menghadapi perubahan-perubahan kedepan. Peter Drusker, seorang ahli manajemen, menyatakan bahwa sampai dengan tahun 2010 tenaga kerja di sektor manufaktur akan menjadi hanya sekitar 10 % dari posisi 21% pada saat ini. Banyak pekerjaan disektor jasa seperti perbankan, asuransi, transportasi, kesehatan, komunikasi dan industri lainnya tidak lagi memerlukan keterampilan tenaga kerja manusia dan terus digantikan oleh tekhnologi-tekhnologi mutakhir atau robot.
Kehadiran tekhnologi dan robot dalam proses produksi akan merubah peranan atau fungsi tenaga kerja manusia dalam organisasi perusahaan.
Perkembangan teknologi yang cepat tersebut akan mengurangi posisi-posisi tertentu dan menciptakan pengangguran. Ketrampilan tenaga kerja menjadi tertinggal atau kadaluarsa dibandingkan dengan kebutuhan ketrampilan dalam pekerjaan-pekerjaan baru. Ketidakmampuan tenaga kerja mengadaptasi perubahan tekhnologi akan berpengaruh langsung terhadap kuantitas dan kualitas produksi yang merugikan perusahaan. Realitas ini membuat rencana pengembangan SDI dalam jangka panjang sebagai integral rencana bisnis perusahaan menjadi sangat urgent.
Perencanaan Sumber Daya Insani
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan perusahaan maka diperlukan divisi-divisi baru atau perluasan fungsi divisi yang membutuhkan peningkatan ketrampilan dan pengetahuan baru untuk memenuhinya. Ketepatan perusahaan dalam membuat capacity planning dengan mendeskripsikan jenis-jenis pekerjaan dan mencocokkannya dengan kompetensi akan sangat menentukan efektifitas pemberdayaan SDI. Hal ini sangat penting sebagaimana dalam hadis nabi “ jika suatu pekerjaan tidak dipegang oleh ahlinya maka tunggulah waktunya (kegagalannya).
Kompetensi bukanlah sekedar ketrampilan dan pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pelatihan dan pendidikan. Lebih dari itu, kompetensi adalah kemahiran seseorang dalam mempergunakan ketrampilan dan pengetahuannya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya secara efektif. Kompetensi meliputi juga unsur prilaku, motivasi, traits, dan citra diri.
Kompetensi merupakan fenomena gunung es yang terjadi pada diri manusia. Di atas permukaan, ketrampilan dan pengetahuan merupakan pemandangan yang tampak dan mudah diukur sehinga mudah untuk dikembangkan. Sedangkan di bawah permukaan terdapat faktor nilai, motivasi, sifat, dan citra diri yang sulit untuk diukur sehgingga sulit untuk dicari metode pengembangannya, tetapi sangat menentukan keberhasilan suatu pekerjaan. Banyak kejadian penurunan kinerja atau kegagalan dari para profesional pemegang jabatan kunci bukanlah disebabkan oleh kekurangan technical skill tetapi karena terjadinya beban psikologis tertentu yang mempengaruhi suasana kerja. Beberapa kompetensi menjadi semakin penting sejalan dengan meningkatnya kompleksitas suatu pekerjaan.
Ketrampilan
dan Pengetahuan
_______

• Nilai
• Motivasi
• Sifat
• Citra diri

Integritas rencana SDI kedalam rencana strategi bisnis menjadi sangat penting dalam menentukan keberhasilan perusahaan. Penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan program SDI didukung oleh rencana strategi bisnis yang memperhitungkan secara jelas dan tegas kebutuahn SDI dalam jangka panjang antara 2 hingga 4 tahun kedepan. Rencana pengembangan SDI ini bukanlah hanya dilakukan selama 1 atau 2 bulan selama proses perencanaan dan kemudiaan berhenti hingga tahun berikutnya, tetapi merupakan proses berjalan (on going) yang meliputi masukan reguler atas kinerja, revisi data, dan identifikasi terhadap arah perkembangan baru.
Perusahaan semestinya dapat mengembangkan model-model kompetensi yang dibutuhkan untuk mencapai sukses. Kompetensi tersebut dapat dihubungkan dengan strategi, struktur organisasi dan kultur perusahaan. Model tentang persyaratan atau kualifikasi kompetensi tersebut kemudian dijabarkan dan diimplementasikan kepada karyawan dan proses rekrutmen untuk mengetahui bentuk pelatihan yang dibutuhkan dan anggaran biayanya (training needs analysis).
Hal penting lainnya yang menentukan dalam pemberdayaan SDI adalah struktur dan administrasi atas paket kompensasi yang memuaskan. Kompensasi sering dianggap sebagai kenaikan biaya tetap yang tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sehingga sering terjadi membuat para pemimpin perusahaan memutuskan untuk mengurangi tenaga kerja. Kompensasi perlu didisain secara baik sesuai dengan tingkat keberhasilan perusahaan dan berhubungan dengan kinerja pencapaian goals dari karyawan.
Struktur dan Kultur dalam Pemberdayaan SDI
Struktur dan kultur perusahaan akan sangat menentukan keberhasilan perusahaan dalam mencapai kinerja yang tingi. Dua hal ini telah disebut sebagai faktor yang turur mempengaruhi model kompetensi yang disyaratkan. Dalam konteks pengembangan bank syari`ah pemberdayaan SDI akan dapat berjalan secara efektif dengan memberikan kinerja yang tinggi bila didukung oleh struktur perusahaan yang dapat mendistribusikan PIKR (Power, information, Knowledge, and Rewards) secara baik dan benar atau adil. Struktur demikian haruslah menghilangkan hambatan sekat-sekat vertikal birokrasi yang tidak perlu. Dengan demikian struktur perusahaan menggambarkan kondisi paling ideal mengikuti strategi yang hendak ditempuh. Masing-masing divisi memiliki fungsi dan peranan untuk mencapai tujuan perusahaan dan tidak terlepaskan dari divisi-divisi lainnya.
Untuk mendukung high performance organization di atas maka diperlukan kultur perusahaan yang sepadan. Sebagai bank yang berlandaskan prinsip Islam dalam operasinya, maka sepatutnyalah bank Syari`ah memiliki kultur yang Islami. Kultur ini dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai yang memperkaya atau meningkatkan kualitas kerja sebagai bagian dari ibadah. Beberapa nilai tersebut telah coba dikembangkan dengan istilah ZIKR (zero based, Iman, Konsisten, dan Result Oriented).
Kultur zero based dimaksudkan agar karyawan diseluruh level melihat persoalan dari kaca mata yang jernih, bebas dari belengu atau pengaruh paradigma dan pengalaman masa lalu. Dengan kebiasaan memandang persoalan atau tantangan secara zero based diharapkan dapat menimbulkan motivasi dan kreatifitas sehingga memberikan jalan keluar yang lebih baik. Kerapkali prasangka awal yang tumbuh dalam menghadapi persoalan menyebabkan timbulnya sikap underestimate atau overestimate sehingga mempengaruhi kinerja (performance)
Iman adalah kepercayaan atau keyakinan diri yang kuat untuk dapat menyelesaikan persoalan atau tantangan pekerjaan yang tumbuh karena keimanan kepadaAllah SWT. Keimanan ini akan menumbuhkan optimisme dan motivasi kerja yang besar. Keputusan –keputuasn perusahaan yang telah dibuat secara jernih harus didukung dan dilaksanakan oleh seluruh bagian secara kolektif dengan penuh semangat percaya diri.
Konsisten merupakan barang langka pada saat ini, khususnya ketika musim kampanye lalu. Konsistensi terhadap tujuan bersama dan cara yang hendak ditempuh oleh seluruh komponen perusahaan merupakan syarat mutlak tercapainya tujuan organisasi. Sikap ini sangat perlu dipraktekkan khususnya oleh top management untuk memberikan teladan kepada karyawan. Tanpa sikap konsisten maka sulit diharapkan terjadinya keterlibatan (partisipasi) seluruh karyawan untuk menegakkan disiplin kerja atau bahkan keputusan perusahaan.
Tanpa melupakan cara, BMI mendorong budaya untuk selalu berorientasi kepada tujuan akhir atau result oriented. Ini bukan berarti persoalan cara menjadi tidak penting. Tetapi dengan budaya ini maka seluruh karyawan didorong untuk berani memiliki impian, keinginan, target dan goals yang terus-menerus didekati dengan berbagai cara sehingga menumbuhkan kreatifitas dan menemukan cara efektif untuk mencapainya.
Tujuan akhir dari pemberdayaan SDI dengan menerapkan struktur dan kultur perusahaan yang PIKR dan ZIKR adalah terbentuknya masyarakat perusahaan yang MIKR (militan, Intelek, Kompetitif dan Regeneratif). Untuk mencapai tujuan dan target perusahaan diperlukan sikap militan yakni sikap yang tidak mudah mnyerah, ulet, tidak ragu-ragu, dan penuh semangat. Hal ini sangat penting bagi BMI mengingat misi mulianya dalam meningkatkan peran umat Islam dalam perekonomian nasional khususnya dalam mengangkat pengusaha kecil. Namun demikian, militansi karyawan yang diharapkan bukanlah seperti para demonstran yang ikut-ikutan, tetapi memiliki kapasitas intelektual bahwa yang diperjuangkan adalah sesuatu yang hak dan akan menang.
Dengan struktur dan kultur perusahaan diharapkan karyawan BMI memiliki daya saing tinggi atau kompetitif menghadapi perubahan dalam meningkatkan kualitas pelayanan terhadap nasabah. Basis kompetitif ini sangat perlu dalam meningkatkan kulaitas pelayanan terhadap nasabah. Tanpa SDI yang kompetitif maka perusahaan akan tinggal menunggu waktu ditelan arus global yang terus mengalir masuk. Kultur ZIKR yang menjadi sikap militan, intelek, dan kompetitif harus dapat mempertahankan kelangsungan nilai-nilai tersebut dalam organisasi atau regeneratif. Untuk itu maka struktur organisasi harus benar-benar mampu secara baik mendistribusikan PIKR secara adil. Wallahu A’lam

HUKUM DAN KEHIDUPAN SOSIAL

A. Pendahuluan

Masyarakat modern maupun sederhana selalu membutuhkan keadilan dan kepastian hukum, dan oleh karena itu masyarakat menciptakan aturan-aturan yang diakui secara kolektif yang menjadi pedoman dan rujukan dalam menentukan batas-batas hak dan kewajiban yang disebut dengan kaedah. Penyimpangan terhadap kaedah ini akan mendapatkan sanksi atau balasan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Semuanya ini menunjukkan bahwasanya dalam setiap masyarakat ada suatu sarana yang mengatur disebut hukum, yang harus dipatuhi oleh masyarakat untuk terciptanya ketenteraman.
Keberadaan hukum merupakan jaringan sosial yang seolah-olah mengatur segenap sudut kebudayaan tanpa batas yang nyata. Hukum sebenarnya tidak dapat dibedakan secara tajam dari bentuk prilaku sosial, hukum juga adalah karya manusia yang berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku yang merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan.
Hukum merupakan fenomena ataupun gejala sosial yang berasal dari masyarakat, digunakan untuk mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat itu sendiri. Eksistensi hukum dalam masyarakat merupakan kebutuhan disebabkan adanya keinginan-keinginan untuk mencapai kedamaiaan dan ketertiban dalam masyarakat.
Makalah ini akan membahas tentang hukum sebagai fenomena sosial, kaedah sosial, teknologi sosial, hukum dan pelapisan sosial, hukum dan penyelesaian konflik dan poses pembentukan norma dalam masyarakat.

B. Hukum sebagai Fenomena Sosial
Hukum merupakan fenomena sosial yang berasal dari masyarakat dan digunakan untuk mengatur bentuk-bentuk hubungan dalam masyaraakat itu sendiri. Hukum dapat mempengaruhi pola tingkah laku individu-individu maupun kelompok dalam masyarakat itu. Berkenaan dengan ini Timasheff mengatakan: umumnya norma-norma hukum secara nyata akan menentukan prilaku manusia di dalam masyarakat.
Berdasarkan undang-undang atau aturan-aturan hukum ada asumsi bahwa adanya hubungan antara berbagai pola prilaku yang menjelma ke dalam bentuk hukum dengan prilaku nyata dari individu, asumsi tersebut menunjukkan bahwasanya hukum mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku manusia. Kita lihat misalnya peraturan wajib helm: Semua orang yang mengendarai kendaraan roda dua harus atau diwajibkan memakai helm. Ternyata setelah peraturan itu dikeluarkan maka sebagian masyarakat mematuhinya. Ada mekanisme hukum dalam mempengaruhi prilaku manusia. Akhirnya dalam masyarakat hukum bukan lagi merupakan suatu keharusan atau kewajiabn tetapi telah menjadi suatu kebutuhan.
Cara kerja hukum yang demikian menunjukkan bahwa semakin kompleks hubungan yang dijumpai dalam masyarakat maka semakin banyak pula hukum yang diperlukan untuk mengatur hubungan tersebut, dan keberadaan hukum di tengah-tengah masyarakat merupakan sesuatu yang timbul akibat adanya proses sosial yang selanjutnya tumbuh menjadi fenoma sosial dalam masyarakat. Hubungan antara fenomena sosial dengan proses sosial adalah sangat rapat dan tidak dapat dipisahkan, di mana proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta hubungan-hubungan tersebut.
Rangkaian hukum sebagai sebuah fenomena sosial yang tumbuh berdasarkan proses sosial dalam masyarakat adalah fakta yang wajar dengan mengingat kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat itu akan pentingnya kelanggengan dan ketertiban dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu munculnya lembaga dalam masyarakat seperti perkawinan, kewarisan, pemilikan, jual beli dan sebagainya bukan disebabkan adanya hukum melainkan sudah ada sebagai ciptaan dan proses sosial yang berjalan di dalam masyarakat itu.
Vinogradoff mengatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya hukum adalah karena adanya praktek-praktek yang dijalankan sehari-hari yang dibentuk oleh fikiran selanjutnya memberi dan menerima suatu hubungan yang wajar dalam suatu kerjasama sosial.
Untuk memberi pemahaman tentang hukum sebagai fenomena sosial yang timbul dari proses-proses sosial, maka akan dikemukakan faktor-faktor yang harus digunakan oleh hukum, yaitu:
1. Ia harus terdiri dari kenyataan-kenyataan fisik dan psikologis, seperti fakta-fakta tentang kelamin, iklim, dan sebagainya.
2. Ia harus meliputi semua fakta, tradisi, keadaan lingkungan yang mengolah fakta-fakta tersebut menurut suatu cara tertentu.
3. Ia terdiri dari azas-azas yang dilahirkan dari pertimbangan berdasarkan kewajiban tentang hubungan-hubungan antara manusia, seperti keadilan, penghormatan dan lain-lain.
4. Ia memasukkan unsur dinamis, oleh karena itu ia mencakup aspirasi-aspirasi moral dari suatu kurun masa dan peradaban tertentu.
Melalui ahli hukum faktor-faktor tersebut diolah melalui tehnik hukum sehingga hasilnya akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu lembaga perkawinan misalnya tidak akan ada jika tidak ada pria dan wanita. Hukum hanya menerima faktor tersebut dan kemudian mengorganisasikannya menurut lembaga yang dibutuhkan sehubungan dengan adanya lembaga tersebut.
C. Hukum sebagai Kaedah Sosial
Manusia dalam hidupnya mempunyai hasrat untuk bergaul dengan sesamanya. Di samping hasrat untuk bergaul manusia juga punya hasrat agar pergaulan hidup berlangsung dengan teratur. Akan tetapi apa yang dianggap teratur oleh seseorang belumlah sesuai dengan keinginan yang lainnya. Padahal dengan adanya keteraturan tersebut manusia hendak hidup secara pantas. Masing-masing prinsip tentang keteraturan tersebut apabila dibiarkan maka sangat besar kemungkinan pergaulan hidup akan berlangsung tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kondisi tersebut maka diperlukan suatu pedoman tertentu agar tidak terjadi pertentangan-pertentangan yang merugikan hidup. Pedoman tersebut dinamakan kaedah. Kaedah merupakan pedoman atau patokan tentang bagaimana berprikelakuan secara pantas. Pada hakekatnya suatu kaedah merupakan pandangan menilai (waarderingsoordel) terhadap prikelakuan tertentu dari sudut sifat hakekatnya yang disebut norma.
Hukum sebagai kaedah yaitu bahwa hukum merupakan patokan prilaku (pedoman) bagi masyarakat dalam pergaulan dan kehidupan. Dalam pergaulan hidup dikenal macam-macam kaedah atau norma yang menjadi pedoman yakni:
1. Kaedah atau norma agama yaitu peraturan-peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-perintah, larangan-larangan dan aturan-aturan yang berasal dari Tuhan.
2. Kaedah atau norma kesusilaan yaitu peraturan hidup yang datangnya dari hati sanubari manusia.
3. Kaedah atau norma kesopanan yaitu peraturan hidup yang timbul dari pergaulan, interaksi sekelompok manusia dalam masyarakat dan mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia lainnya.
4. Kaedah atau norma hukum yaitu peraturan yang dibuat oleh penguasa yang isinya mengikat kepada setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara.
Tiga kaedah atau norma yaitu kaedah agama, kesusilaan dan kesopanan tidak cukup untuk menjamin terpeliharanya kepentingan-kepentingan individu dalam bergaul, hal ini disebabkan karena tiga kaedah tersebut tidak mempunyai sanksi tegas, karena itulah diperlukan kaedah yang mempunyai sanksi tegas, bersifat memaksa dalam kehidupan yaitu kaedah hukum yang berisi: suruhan, larangan, dan kebolehan. Kaedah hukum yang berisikan suruhan dan larangan bersifat imperatif artinya ialah kaedah tersebut secara apriori harus ditaaati, sedangkan kaedah hukum yang berisikan kebolehan bersifat fakultatif artinya ialah kaedah hukum tersebut secara apriori tidak terlalu mengikat. Kaedah hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian di dalam kehidupan bersama di mana kedamaian berarti suatu keserasian antara keterikatan dengan kebebasan.
Tugas hukum tidak lain dari pada mencapai keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum secara bersamaan. Apabila kaedah atau norma telah dipahami dan ditaati oleh masyarakat maka dapat dikatakan bahwa kaedah-kaedah tersebut telah melembaga. Himpunan kaedah yang oleh masyarakat dianggap mengatur kebutuhan-kebutuhan pokok lazimnya disebut lembaga sosial atau pranata sosial.
D. Hukum sebagai Teknologi Sosial
Membahas hukum sebagai teknologi sosial haruslah melibatkan peranan-peranan orang-orang yang berada di dalamnya. Hal ini berarti bahwa pekerjaan-pekerjaan hukum itu tidak berbeda dengan teknologi lainnya yang dilakukan oleh insinyur, dokter dan sarjana lain. Mereka ini mempunyai keahlian di bidangnya masing-masing untuk memainkan peranan dalam menghasilkan produk-produk yang baru yang pada akhirnya dapat bermanfaat bagi manusia.
Demikian juga dengan ilmu hukum, seorang ahli hukum menggunakan undang-undang yaitu dengan menerapkannya di dalam masyarakat sehingga ilmu hukum ini di satu sisi menjadi ilmu terapan dan di sisi lain berfungsi sebagai ilmu murni. Sehubungan dengan ini Huntington Cairne menyebutkan bahwa Law as a social Science. Sebagai teknologi sosial, maka ilmu pengetahuan hukum harus mampu menciptakan dan menerapkan peraturan-peraturan hukum yang diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan sosial yang diharapkan.
Para ahli hukum selalu dituntut untuk memberikan jawaban dengan membuat peraturan-peraturan hukum sebagai akibat daripada perubahan-perubahan besar dalam masyarakat, akibat teknologi maupun tekanan (pressures) yang disebabkan oleh pertambahan masyarakat dan hokum, dalam kondisi ini diharapkan mampu memberikan respon terhadap perubahan-perubahan tersebut.
Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembangunan masyarakat, hal didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu hal yang dianggap sangat penting dan sangat diperlukan. Di samping itu hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah-arah kegiatan warga masyarakat tersebut ke arah tujuan yang hendak dicapai perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogyanya dilakukan di samping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian sosial.
E. Hukum dan Pelapisan (Stratifikasi) Sosial
Stratifikasi (lapisan) tidak dapat dihilangkan dalam setiap masyarakat bagaimanapun bentuk susunan masyarakat tersebut. Karl Marx yang terkenal dengan ajaran sosialisnya pernah keliru dalam menganalisa persoalan stratifikasi sosial. Marx menyimpulkan bahwa, kelas-kelas dalam masyarakat (stratifikasi sosial) dapat dihapuskan abila alat produksi dikuasai oleh kelompok (golongan) proletar. Kenyataannya tidaklah demikian. Ide yang dimajukan oleh Karl Marx tersebut tetap tidak pernah terwujud, sebab dalam kenyataannya tetap ada masyarakat atau kelompok yang disebut sebagai kaum Borjuis dan kaum proletar.
Meskipun penekanan Karl Marx dalam menganalisa masalah ini melalui pendekatan ekonomi, tetapi penghapusan kelas-kelas berdasarkan status ekonomi tersebut tetap tidak pernah ada. Hal ini disebabkan karena, jika satu kali alat-alat produksi dikuasai oleh kaum proletar maka akan tiba saatnya pergeseran status di mana kaum proletar itu akan menempati posisi Borjuis.
Tetapnya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat tersebut dikarenakan adanya sesuatu yang dihargai dalam masyarakat tersebut, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka sesuatu tersebut dapat menjadi bibit yang menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Meskipun pada umumnya manusia bercita-cita agar tidak ada perbedaan kedudukan dan peranan di dalam masyarakat. Akan tetapi cita-cita tersebut selalu ada pada kenyataan yang berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan marga-marganya pada tempat-tempat tertentu di dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat dari penempatan tersebut.
Suatu hipotesa dari ahli-ahli sosiologi yang mengatakan bahwa semakin kompleks stratifikasi sosial suatu masyarakat semakin banyak hukumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh karena semakin kompleks stratifikasi sosial, semakin banyak pula kepentingan yang hanya dapat diatur oleh hukum. Semakin komplek stratifikasi sosial diartikan sebagai keadaan di mana banyak sekali ukuran-ukuran yang dipergunakan sebagai indikator untuk mendudukkan seseorang di dalam posisi sosial tertentu.
Hipotesa tersebut di atas selanjutnya mempunyai akibat bahwa semakin rendah status seseorang di dalam masyarakat, semakin banyak hukum yang mengaturnya. Dengan kata lain semakin banyak kekuasaan, kekayaan, kehormatan, semakin sedikit hukum yang mengaturnya. Hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan tujuan hukum , yang tidak membedakan keadaan-keadaan semacam itu.
Para ahli tersebut melihat bahwa dengan terjadinya pelapisan sosial, maka hukumpun sulit mempertahankan netralitasnya atau kedudukannya yang tidak memihak. Pelapisan sosial ini merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat diskriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri maupun penegakannya.
F. Hukum dan Penyelesaian Konflik (Conflict Resolution)
Studi hukum dalam masyarakat kiranya akan berkepentingan terhadap konsepsi mengenai fungsi hukum. Menurut para pakar hukum fungsi-fungsi hukum itu antara lain meliputi:
1. Memberikan pedoman/pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku
2. Pengawasan/ pengendalian (Social control)
3. Penyelesaian sengketa (dispute settlement)
4. Rekayasa sosial (social engineering)
Di sini akan dilihat hukum sebagai sarana penyelesaian konflik (dispute settlement). Persengketaan/perselisihan dapat terjadi dalam masyarakat, antara keluarga, yang dapat meretakkan hubungan keluarga antara mereka dalam suatu urusan bersama, yang dapat membubarkan kerjasama.
Masyarakat menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa serta pemecahan perselisihan. Lembaga yang melakukan pekerjaan itu, cukup banyak bentuk dan gayanya. Dalam penyelesaian sengketa/perselisihan salah satu lembaga formalnya adalah pengadilan, namun tidak semua perselisihan selalu diselesaikan melalui lembaga formal ini. Karena di dalam masyarakat sebenarnya banyak sengketa yang diselesaikan sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan dengan bantuan orang-orang yang ada disekitarnya.
Hukum mempunyai tujuan melindungi kepentingan-kepentingan hidup masyarakat. Akan tetapi karena kepentingan-kepentingan itu saling bertentangan, maka tidaklah mungkin hukum itu dapat memberikan perlindungan penuh terhadap yang satu, serta mengabaikan kepentingan-kepentingan orang lain. Penjagaan kepentingan ini harus mencari jalan tengah untuk mencapai kompromi. Hukum mencari jalan untuk menyelesaikan persoalan ini dengan jalan mempertimbangkan seteliti-telitinya kedua jenis kepentingan yang bertentangan itu, sehingga terdapat keseimbangan.
Agar kelangsungan keselarasan interaksi seluruh anggota masyarakat dapat terwujud dan terpelihara, maka diperlukan hukum yang dibentuk atas keinginan dan kesadaraan yang sungguh-sungguh dari tiap-tiap individu dalam masyarakat. Peraturan-peraturan hukum tersebut dapat berupa hukum yang mengatur atau hukum yang memaksa. Bagi setiap penentang hukum akan dikenakan sanksi yang berupa hukuman atau pidana. Keadaan ini memberi indikasi bahwa hukum atau peraturan nilai-nilai keadilan masyarakat.
Sebagaimana pandangan Durkheim, hukum adalah konkretisasi dan obyektivikasi dari norma dan nilai-nilai. Jadi penyelesaian sengketa dalam masyarakat pun menggunakan hukum dari sumber kebiasaan, maka dapat dinyatakan bahwa hukum menjadi manajemen bagi penyelesaian sengketa.
G. Proses Pembentukan Norma dalam Masyarakat
Kehidupan bermasyarakat mengharuskan para anggotanya berhubungan satu sama lain di dalam berbagai hal. Mereka itu pada hakekatnya adalah pendukung-pendukung suatu kepentingan dan kebutuhan yang dapat diklasifikasikan dalam:
1. Kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan dan sebagainya
2. Kebutuhan keamanan, ketertiban dan ketentraman dari gangguan, ancaman atau serangan pihak lain
3. Kebutuhan akan kerja sama yang saling menguntungkan atau kerjasama untuk tujuan-tujuan kolektif
4. Kebutuhan akan kehormatan dirinya, akan penghargaan sebagai manusia yang bermartabat dan berkebudayaan.
5. Kebutuhan akan eksistensi dirinya dengan jiwa mereka, yang memiliki daya logika, etika dan estetika atau nalar dan kreatifitas guna membudayakan dirinya.
Kepentingan-kepentingan dalam masyarakat sering sekali bertentangan. Masing-masing anggota berusaha melindungi kepentingannya terhadap bahaya yang mengancam, selain itu mereka saling menggantungkan diri apabila kepentingan mereka perlu dipertahankan bersama. Untuk keperluan itu maka secara bersama-sama mereka mengadakan berbagai peraturan untuk menjaga kepentingan tersebut. Peraturan-peraturan tersebut umumnya disebut norma.
Tingkah laku dan perbuatan seseorang harus bisa disesuaikan dengan aturan ataupun hukum serta norma-norma yang berlaku di dalam lingkungan kelompok atau masyarakatnya. Hal ini disebut normalisasi. Normalisasi tergantung daripada norma-norma yang melindungi hidup bermasyarakat. Di mana saja orang bertempat tinggal akan dikuasai oleh norma-norma di mana tempat dia tinggal, dan ia harus pula menormalisasikan dirinya pada lingkungan norma-norma itu, sebab jika tidak ia akan terisolir dari masyarakat.
Pada umumnya norma-norma itu dapat dirinci dalam empat macam yaitu:
1. Norma kesusilaan
Norma kesusilaan bersumber dari hati sanubari (insane kamil) manusia, agar manusia menjadi makhluk sempurna maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan yang bersumber dari sanubari. Akan tetapi tidak setiap yang keluar dari hati nurani dapat diakui sebagai norma kesusilaan, sebab hanya norma-norma kehidupan yang serupa bisikan hati sanubari (insane kamil) yang diakui dan diinsyafi oleh semua orang sebagai pedoman sikap perbuatan sehari-hari. Norma-norma kesusilaan itu dapat juga menetapkan buruk baiknya perbuatan manusia dan turut pula memelihara ketertiban manusia dalam masyarakat. Norma kesusilaan ini bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
2. Norma Kesopanan
Norma kesopanan dikenal sebagai tata aturan yang hidup di dalam pergaulan sekelompok manusia, demikain pula timbulnya tata aturan tersebut adalah dengan pergaulan sekelompok manusia pula.
Tempat berlakunya norma kesopanan ini sangat terbatas, ia tidak mempunyai lingkungan norma agama dan kesusilaan. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, ia bersifat khusus dan setempat dan berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja.
3. Norma Hukum
Pengaturan yang dibentuk oleh penguasa negara menimbulkan kaedah berupa peraturan-peraturan dalam segala bentuk dan jenisnya. Di dalam kehidupan sehari-hari terbukti bahwa norma hukum mengikat setiap orang. Pelaksanaan norma hukum dapat dipaksakan dan dipertahankan oleh negara.
Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum adalah bersifat heteronom artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar diri manusia yaitu kekuasaan negara.
Keistimewaan norma hukum itu justru terletak dalam sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya yang berupa ancaman hukuman. Alat-alat kekuasaan negara berupaya agar peraturan-peraturan hukum itu ditaati dan dilaksanakan. Paksaan tidak berarti sewenang-wenang melainkan harus bersifat sebagai alat yang dapat memberi suatu tekanan agar norma-norma hukum itu dihormati dan ditaati.
4. Norma agama
Norma agama bersumber dari Tuhan, merupakan peraturan-peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, maupun larangan-larangan. Peraturan-peraturan yang bersifat perintah harus dipatuhi oleh manusia, tetapi pelanggaran terhadap perintah tersebut tidak mempunyai sanksi yang tegas, hanya mengharapkan kesadaran dari masing-masing individu.
H. Kesimpulan
Hukum merupakan fenomena sosial yang berasal dari masyarakat, hukum itu dibentuk untuk mengikat masyarakat dan digunakan untuk mengatur bentuk-bentuk hubungan dalam masyarakat itu sendiri. Hukum berisi aturan-aturan, perintah dan larangan-larangan yang menjadi pedoman bagi masyarakat untuk bertindak yang selanjutnya disebut dengan norma. Hukum dapat berfungsi sebagai kaedah dalam masyarakat hukum juga dapat berfungsi sebagai teknologi sosial yang bersifat praktis yaitu bahwa ilmu hukum diharapkan dapat menerapkan peraturan-peraturan hukum yang diperlukan bagi pembangunan masyarakat.
Kehidupan bermasyarakat juga menimbulkan adanya stratifikasi sosial yang disebabkan oleh hukum, kekayaan, kehormatan dan sebagainya. Dengan terjadinya stratifikasi sosial akan menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat karena tidak akan didapatkan hukum yang adil sebab kebiasaannya penegakan hukum dalam stratifikasi sosial akan bersifat memihak. Wallahu A’lam



DAFTAR PUSTAKA
Chairuddin, O.K. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Friedman, W., Legal theory. London: Stevens and Son’s, 1953.

Podgorechi, Adam dan Chirsthoper J Whelan, Sosiological Approaches to Law, terj. Widyaningsih. Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Purbacaraka, Purnadi, Disiplin Hukum adalah Disiplin Sosial, dalam editor Hukum dan Disiplin Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1988.

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986.

Soekanto, Soerjono, Antropologi Hukum: Materi Pengantar Ilmu Hukum Adat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1984.

----------------------, Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1992.

----------------------, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1983.

---------------------, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1991.

Soekanto, Soerjono dan Mustofa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers, 1987.

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Taneko, Soleman B., Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.

POLITIK HUKUM NASIONAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL

A Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas asas hukum dan berfalsafahkan Pancasila, melindungi agama dan penganut agama bahkan berusaha memasukkan ajaran dan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Pancasila adalah sumber hukum dari Hukum Nasional Indonesia, sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hukum dasar yang harus dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam bernegara Dan Pancasila sebagai falsafah negara, dasar negara dan hukum dasar mendudukkan agama dan hukum agama pada kedudukan yang fundamental
Dalam membentuk atau menyusun peraturan-peraturan hukum maka pertama-tama yang harus dipedomani adalah politik hukum dari suatu negara (Bakar, 1993:56) Politik hukum ini menghendaki berkembangnya kehidupan beragama dan hukum agama dalam kehidupan Nasional Hukum Nasional (dibentuk sejak kemerdekaan) adalah sistim hukum yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia yang mengakomodir dan memasukkan hukum agama dan tidak memuat norma hukum yang bertentangan dengan hukum agama
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia merupakan bahan baku dalam pembinaan Hukum Nasional Ajaran hukum Islam, terutama yang tercantum dalam Qur'an dengan sifatnya yang universal dapat diambil untuk memperkaya dan menyempurnakan Hukum Nasional
Melalui historical approach penulis akan mencoba mendeskripsikan lebih jauh bagaimana politik Hukum Nasional pemerintahan Soeharto (1966-1998) dan Habibie (1998-1999) dan pengaruh politik Hukum Nasional tersebut terhadap Hukum Islam di Indonesia

B Politik Hukum Nasional Priode Soeharto
Politik hukum adalah pernyataan kehendak dari pemerintah negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan ke arah mana hukum itu akan dikembangkan (Lubis, 1995:77) Moh Mahfudh MD menyatakan bahwa politik hukum dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu (Mahfudh, 1999:31)
Tekad awal Pemerintahan Soeharto adalah mempertahankan, memurnikan wujud dan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, sebagai koreksi total terhadap penyelewengan dan keburukan yang dilakukan rezim orde lama Munculnya pemerintahan orde baru pada mulanya menyimpan berbagai harapan umat Islam, sebab pada masa terakhir kekuasaan Soekarno keberadaan sosio politik umat Islam termarginalisasikan oleh kekuatan lainnya, khususnya Partai Komunis Indonesia (Halim, 2000:81)
Dalam menggambarkan konfigurasi perpolitikan rezim orde baru, Moh Mahfudh MD menyatakan bahwa, sejak periode 1966 sampai penghujung orde baru, konfigurasi politik diciptakan untuk membentuk negara yang kuat Negara kuat yang mampu menjalin kehidupan politik yang stabil karena pembangunan ekonomi akan berhasil jika didukung oleh stabilitas nasional yang mantap Meskipun pada awalnya orde baru memulai langkahnya secara demokratis, tetapi secara pasti lama kelamaan membentuk konfigurasi yang cenderung otoriter
Politik Hukum Nasional secara sosiologis setelah kemerdekaan sangat diperlukan, karena masyarakat Indonesia menghendaki perubahan dalam hal produk hukum Produk hukum peninggalan Pemerintah Belanda yang tidak sesuai lagi dengan idealita dan realita masyarakat Indonesia harus segera dicabut Tetapi penggantian produk hukum tidaklah mudah, harus ada justifikasi untuk tetap berlakunya hukum-hukum produk Belanda meskipun untuk sementara, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 aturan peralihan pasal II (Mahfudh, 1999:32)
Secara garis besar poitik hukum negara kita telah dirumuskan di dalam UUD 1945, sedangkan penjabarannya untuk setiap priode pembangunan dicantumkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi salah satu sumber hukum dalam sistim hukum nasional Politik hukum itu antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu di dalam hukum yang agama tidak memberikan ajaran atau ketentuan sendiri Upaya ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum khusunya hukum perdata merupakan hal yang sangat sulit Unifkasi hukum di tuntut untuk memperhatikan dan mengakomodir keaneka-ragaman budaya dan kesadaran hukum masyarakat yang mengacu kepada keyakinan dan nilai-nilai yang di anut oleh mereka (Bisri, 1998:80)
Dari ke empat GBHN yang tertuang dalam TAP MPR No IV/MPR/1973, TAP MPR No IV/MPR/1978, TAP MPR No IV/MPR/1983, TAP MPR No II/MPR/1988 tidak dapat disimpulkan secara tegas bagaimana politik hukum pemerintahan soeharto khususnya terhadap Hukum Islam (Taufiq, 1998:79) (Solly, 1989:106) Barulah dalam GBHN 1993 dengan TAP MPR No II/MPR/1993 politik hukum pemerintah terhadap hukum Islam nampak lebih jelas TAP MPR No II/MPR/1993 yang berkaitan dengan sasaran bidang hukum dalam pembangunan jangka panjang kedua (PJP II) dirumuskan sebagai berikut: "terbentuk dan berfungsinya sistim Hukum Nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum (Irsyad, 1996:17)
Sasaran bidang hukum dalam pembangunan lima tahun keenam (REPELITA VI) dirumuskan: penataan Hukum Nasional dengan meletakkan pola pikir yang mendasari penyusunan sistem Hukum Nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; penyusunan kerangka sistem Hukum Nasional serta penginventarisasian dan penyusunan unsur-unsur tatanan hukum dalam rangka pembaharuan Hukum Nasional; peningkatan penegakan hukum; serta peningkatan sarana dan prasarana hukum (Irsyad, 1996:17)
Kebijakan Pelita VI bidang hukum menentukan prioritas pembangunan dan penataan hukum di waktu yang akan datang menjadi bertambah penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana keamanan dan ketertiban masyarakat serta stabilitas nasional namun juga sebagai sarana pembangunan masyarakat
Dalam upaya dan proses penyusunan, pelaksanaan dan penilaian pembangunan sistim hukum nasional ini diperlukan wawasan yang sejalan dengan cita-cita nasional dan realitas bangsa yaitu wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan Bhinneka Tunggal Ika (Lubis, 1195:78)
Wawasan kebangsaan ialah wawasan yang bertolak dari paham bahwa negara kita adalah suatu negara kebangsaan (nation state) dan bukan negara yang berdasarkan ras yang ditentukan secara antropologis kultural dan bukan juga secara agama yang ditentukan oleh agama yang dianut oleh mayoritas
Wawasan Nusantara ialah pandangan yang melihat seluruh wilayah kepulauan nusantara ini sebagai suatu kesatuan hukum dalam arti bahwa di seluruh wilayah republik Indonesia pada akhirnya hanya berlaku suatu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional
Wawasan Bhineka Tunggal Ika juga diperlukan karena suasana dan kondisi kehidupan masyarakat yang hingga kini masih mempelihatkan berbagai perbedaan lokal, etnik-keagamaan dan lingkungan budaya, yang memerlukan pertimbangan dan perhatian Dengan adanya wawasan Bhineka Tunggal Ika akan menghindari timbulnya ketidak adilan dalam memperlakukan semua rakyat dengan berbagai latar belakang dan kondisi yang bervarian itu
Dibawah pemerintahan Soeharto, kekuasaan dipusatkan di tangan eksekutif dalam membangun politik yang kuat, sedangkan lembaga negara lainnya dibiarkan lemah dan tergantung pada eksekutif Sebagai akibat dari lemahnya lembaga-lembaga tersebut maka hampir semua produk legislasi yang disahkan lembaga perwakilan berasal dari usul pemerintah Pada umumnya lembaga perwakilan hanya melakukan perbaikan yang tidak prinsipil atas rancangan yang disampaikan oleh pemerintah (Mahfudh, 1999:237)
Secara umum arah kebijakan dan sikap pemerintahan Soeharto dapat dibedakan menjadi 2 periode yaitu priode Pra 1974 dan priode pasca 1974 (Lubis, 1995:82) Politik hukum memberlakukan Hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintahan Soeharto, dibuktikan dengan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 UU itu menetapkan: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya Dan pasal 63 UU perkawinan mengundangkan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah pengadilan agama bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi yang lainnya Dengan UU No 1/1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan hukum-Hukum Islam bagi pemeluknya dan menegaskan Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam
Kebijakan Soeharto dengan mengeluarkan UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman, UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Kebijakan di bidang Peradilan Agama khususnya, mengindikasikan hubungan yang erat antara negara dan Islam di Indonesia sejak paro ke-2 dekade 80-an
Untuk melihat Peradilan Agama dalam tataran politik hukum orde baru, maka beberapa nsur penting yang saling berhubungan adalah: (1) Landasan Konstitusional yakni Pancasila yang dioperasionalisasikan seara struktural dalam UUD 1945, (2) Di implementasikan norma-norma itu dalam bentuk politik hukum nasional yang dirumuskan dalam ketetapan MPR yaitu GBHN, (3) perubahan masyarakat, watak alami dan abadi dalam suatu masyarakat ialah mengalami perubahan, baik struktur maupun pola budayanya, (4) perubahan tata hukum itu dilakukan secara nasional, disengaja, berencana dan berjangka yang secara konkrit dirumuskan dalam rencana pembangunan nasional di bidang hukum, (5) perubahan itu sebagai hasil interaksi dari berbagai unsur dan potensi masyarakat yang majemuk, (6) Peradilan Islam Keenam unsur ini mempunyai variasi hubungan fungsional (simetrik), hubungan searah (assimetrik), dan hubungan timbal balik (reciproal) (Halim, 2000:17)
Beberapa peraturan lainnya adalah UU Pokok Pendidikan, Inpres No 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan juga hubungan pemerintah yang begitu kuat kepada organisasi cendekiawan seperti ICMI, telah memperjelas kecenderungan rezim orde baru di bawah pimpinan Soeharto untuk mengakomodir aspirasi umat Islam Disamping itu kebijakan yang dituangkan dalam UU no 7/1992 tentang Perbankan (Mardjono, 1997:53) dan dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI), Keputusan Bersama tingkat Menteri tentang Bazis dan kebijakan tentang jilbab, penghapusan porkas, dan SDSB Perkembangan ini mengindikasikan adanya titik balik dalam hubungan Islam dan Pemerintah, dimana mereka tidak lagi dipandang sebagai musuh tetapi sebagai partner dalam usaha yang dilakukan oleh orde baru untuk membangun negara
Dan dalam hubungannya dengan perwakafan dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1977 tanggal 17 Mei 1977 (LN, tahun 1977 No 30) tentang perwakafan tanah milik dan penjelasannya (TLN 3107) (Ichtiyanto, 1990:1974)

Politik Hukum Nasional Priode BJ Habibie
Gejolak reformasi sebagai fakta historis yang terjadi sejak bulan Mei 1998, yang telah berhasil mendesak berlangsungnya sidang umum istimewa MPR Nopember 1998 untuk mendapatkan garis-garis kebijakan (Public Policy) yang lebih segar dan akomodatif sesuai dengan tutntutan reformasi Hal ini dapat dilihat pada masa pemerintahan transisinya Presiden BJ Habibie menuju PEMILU 7 Juni 1999 dan MPR hasil PEMILU itu bersidang bulan Oktober 1999 (Solly, 2000:15)
Pemerintahan Habbie sebagai kelanjutan dari pemerintahan Soeharto, dimana masyarakat menghendaki reformasi pertama dalam bidang politik, ekonomi dan hukum Ketetapan MPR sebagai kelanjutan dari ketetapan pemerintahan Soeharto adalah TAP MPR No X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara, dari TAP MPR No IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Dalam TAP MPR No IV/MPR/1999 ini, hukum merupakan arah kebijakan yang utama dan secara tegas disebutkan bahwa hukum agama sebagai salah satunya unsur sistem Hukum Nasional Ini sangat menguntungkan bagi umat Islam untuk bisa mentransformasikan dan mengintegrasikan Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional Secara lengkap bunyi TAP MPR tersebut adalah "Menata sistem Hukum Nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan Hukum Nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak-adilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi
Kebijakan yang dilakukan pemerintahan Habibie dengan ditetapkannya UU No 17/1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji dan UU lain yang merupakan kelanjutan dari UU No 7/1992 tentang perbankan
Dilihat dari sistem Pemerintahan yang dilakukan Soeharto adalah stabilisasi sedangkan pemerintahan Habibie adalah demokratisasi TAP MPR pada masa Soeharto identik dengan Soeharto sedangkan TAP MPR pada masa Habibie belum tentu menggambarkan pemerintah, bahkan lebih sering bertentangan

D Pengaruh Politik Hukum Nasional Terhadap Hukum Islam
Hukum Islam yang dimaksudkan disini adalah peraturan-peraturan yang diambil dari Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad, dilambangkan melalui ijtihad oleh para ahli Hukum Islam,(Halim, 1996:99) seperti fiqh, fatwa, kepeutusan-keputusan pengadilan dan undang-undang yang dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam Indonesia
Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit diganti dan diterapkan Politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat Semakin baik hubungan Islam dengan politik semakin besar peluang hukum Islam di aktualisasikan, dan bila keduanya merenggang semakin sempit pulalah peluang hukum Islam dapat diterapkan
Jalur kontibusi hukum Islam, ditinjau dari perspektif pembinaan hukum nasional dapat ditinjau dari:
Pertama, kontribusi melalui peraturan perundang-undangan Karena peraturan perundang-undangan dapat bervarian, maka kontribusi hukum Islam dapat terjadi pada setiap macam peraturan perundang-undangan
Kedua, kontribusi melalui yurisprudensi
Ketiga, melalui pengembangan hukum kebiasaan
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang di taati oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dari keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan hukum yang nota bene merupakan bahan dalam pembinaan hukum nasional Dari sumber ajarannya, realita kehidupan hukum masyarakat, sejarah pertumbuhanya dan perkembangan hukum di Indonesia, berlakunya hukum Islam di Indonesia terdapat beberapa teori Mengenai hubungan antara hukum Islam dengan hukum nasioanl terlihat bahwa hukum agama (baca; hukum Islam) berada dalam hukum nasional Indonesia (teori eksistensi) Teori ini menyebutkan bentuk eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia adalah:
1. Ada, dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia
2. Ada, dalam arti adanya dengan kemandiriannya yang diakui adanya dan kekuatan wibawanya oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional
3. Ada, dalam Hukum Nasinal dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional
4. Ada, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional (Ichtiyanto, 1990:86)
Hukum Islam merupakan salah satu sistim hukum yang berlaku dan diakui di Indonesia, dan sejak diundangkannya UU No 7 tahun 1989 Hukum Islam makin luas masuk ke dalam sistim hukum positif Lahirnya UU No 7/1989 didasarkan kepada kebutuhan umat Islam dalam melaksanakan agamanya dan juga berlandaskan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. Negara republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram dan tertib
2. Untuk tujuan tersebut diperlukan upaya menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat
3. Salah satu upaya menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum adalah melalui Pengadilan Agama
4. Keaneka ragaman peraturan, kekuasaan dan hukum acara yang selama ini berlaku di Pngadilan Agama perlu segera diakhiri
5. UU tentang Peradilan agama ini untuk melaksanakan UU No 4/1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (Bakar, 1993:59)
Kebijakan yang diambil oleh Soeharto dalam menetapkan UU No 1/1974, Undang-Undang Perkawinan menciptakan hukum baru dalam Hukum Perkawinan Nasional Undang-undang perkawinan adalah hasil kompromi antara berbagai sistim hukum, filsafat hukum serta prosedur hukumnya UU No 1/1974 ini sangat besar artinya bagi Hukum Islam setelah dijadikan sebagai Hukum Nasional dan ditetapkannya Kompilasi Hukum Islam sebagai bahan rujukan bagi penetapan keputusan Hakim di Pengadilan Agama Peradilan agama di Indonesia dengan kompetensi absolutnya tentang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam (Halim, 2000:13)
Keluarnya PP No 28/1977 seperti yang dikehendaki oleh pasal 49 ayat (3) UU Pokok agraria, disebutkan bahwa salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik Peraturan Pemerintah ini kemudian disusul dengan berbagai peraturan perundangan lainnya (Usman, 1994:113)
Selanjutnya PP No 28 tahun 1977 dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang pada dasarnya sama dengan hukum perwakafan yang telah diatur oleh perundang-undangan yang telah ada sebelumnya Dengan dimasukkannya PP No 28/1977 ke dalam KHI maka ketentuan tentang perwakafan ini akan diberlakukan di Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara yang berhubungan dengan sengketa tanah wakaf dan yang berkaitan dengannya
Kebijakan soeharto dengan ditetapkannya Undang-Undang No7/1992 tentang Perbankan Peraturan perundang-undangan ini melakukan mu'amalat sesuai dengan Hukum Islam, menjadi pemecahan baru bagi orang-orang Islam dalam soal perbankan, dimana sebelumnya dalam menjalani kegiatan di bidang keuangan kaum Muslimin hanya mengenal seta menggunakan bank-bank umum dan asuransi umum yang notabene hukumnya terlepas dari kaidah-kaidah ajaran Islam
Kebijakan pemerintahan Soeharto dalam hal institusi-institusi yang resmi dibentuk oleh Pemerintah terlihat dengan adanya lembaga keagamaan Islam yang berdiri atas izin pemerintah, antara lain: MUI, LPTQ dan Lembaga Pendidian Agama Swasta (Soekarja, 1998:28)
Dalam hal pendidikan agama sebagai kelanjutan dari ketetapan MPRS pada tahun 1960 dan 1966 yang menetapkan pelajaran agama diberikan mulai dari SD sampai perguruan tinggi ditetapkanlah UU No 2/1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Dengan ditetapkannya UU ini pendidikan agama semakin eksis
Kebijakan yang diambil BJ Habibie -selaku orang nomor 1 pada masanya- tentang penyelenggaraan ibadah haji sebagai peningkatan terhadap pelayanan haji yang dari tahun ke tahun terus bertambah Perhatian terhadap pelaksanaan haji ini juga sudah dilakukan pada era-era sebelumnya dengan terdapatnya beberapa perubahan dan diduga semakin kuat dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang penyelenggaraan Ibadah haji tersebut
Perkembangan Peradilan agama dengan lahirnya UU No 35/1999 sebagai perubahan atas 2 pasal dari UU No 14/1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman Sebagaimana ditetapkan oleh pasal-pasal UU No 35 tahun 1999 dapat di ambil kesimpulan bahwa UU No 35/1999 menentukan: pertama, badan-badan peradilan agama secara organisatoris-administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung Kedua, pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dari lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara ke MA dan ketentuan pengalihan untuk masing-masing lingkungan peradilan di atur lebih kanjut dengan UU sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing ketiga, ketentuan mengenai tata cara pengadilan secara bertahap tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden
Dengan penyatuan "atap" tersebut maka Peradilan Agama di bawah pengawasan Mahkamah Agung dikhawatirkan munculnya problem baru di lingkungan Peradilan Agama pihak penguasalah yang akan mengakomodir aspirasi umat Islam

E Penutup
Kebijakan pemerintah terhadap hukum Islam berjalan dengan gelombang pasang surut dan sejalan dengan harmonisasi hubungan antara Islam dan negara Politik hukum yang dilaksanakan oleh Soeharto dan BJ Habibie didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dan dijabarkan oleh GBHN pada PJP I dan II Politik hukum tersebut dituangkan dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, dimana watak produk hukum sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya
Hukum Islam sebagai bahan baku bagi pembangunan Hukum Nasional semakin kuat setelah adanya ketetapan MPR No IV/MPR/1999 dengan dicantumkannya secara tegas bahwa hukum agama sebagai salah satu unsur sistem Hukum Nasional
Politik Hukum Nasional Soeharto dan BJ Habibie khususnya pada bidang Hukum Islam membuktikan bahwa Hukum Islam di Indonesia eksistensinya semakin kokoh dan memberikan implikasi positif bagi Hukum Islam dalam Hukum Nasional Wallahu A’lam

DAFTAR BACAAN
Aziz Thoha Abdul Islam Dan Negara Dalam Politik Orde baru, Gema Insani Press Jakarta 1996

Bakar Zainal Abidin Abu Pengaruh Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Di Indonesia dalam mimbar hukum No 9 th IV Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan agama Islam Jakarta 1993

Bisri Cik Hasan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistim Hukum Nasional Logos Jakarta 1999

Halim Abdul Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia PT Raja Grafindo Jakarta 2000

Hakim G Abdul Nusantara Politik Hukum Indonesia Yayasan LBHI Jakarta 1988

Hartono Sunaryati Politik Hukum menuju satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991

Ichtijanto Hukum Islam Dan Hukum Nasional Ind, Hill Co Jakarta 1990

----------- Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional: Sebuah gambaran posisi Mimbar Hukum No 13 Th V Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan agama Islam Jakarta 1993

Irsyad Syamsuhadi Politik Hukum Nasional Dan Jalur-Jalur Kontribusi Hukum Islam Dalam mimbar hukum No 29 Th VII Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan agama Islam Jakarta 1996

Kusumah Mulyana W Perspektif, Teori Dan Kebijaksanaan Hukum Rajawali Jakarta 1986

Lubis M Solly Serba-serbi Politik Hukum CV Mandar Maju Bandung 1989

Lubis Nur A Fadhil Hukum Islam Dalam Kerangka Teori Fiqh Dan Tata Hukum Indonesia Pustaka widya sarana Medan 1995 hal 82

Lindsey Timothy Law And Society The federation Press Sydney 1999

Mardjono Hartono Menegakkan Syari'at Islam Dalam Konteks Keindonesiaan; Proses Penerapan Nilai-Nilai Islam Mizan Bandung 1997

Mahfud MDMoh Politik Hukum Di Indonesia, Gema Media, Yogyakarta, 1999

---------------------- Pergulatan Politik Dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999

Seran Alexander Moral Politik Hukum Obor Jakarta 1999

Taufiq Kebijakan-kebijakan Politik Pemerintahan Orde Baru Mengenai Hukum Islam dalam Cik Hasan Bisri (Ed) Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia Logos Jakarta 1998